TARIKAT SUHRAWARDIYAH DAN AJARANNYA
TARIKAT SUHRAWARDIYAH DAN AJARANNYA
A. Mengenal Sosok Suhrawardi
Nama
lengkap Suhrawardi adalah Abu al-Futuh Yahya bin Habash bin Amirak Shihab
al-Din as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/ 1153M di Suhraward,
sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjan. Ia memiliki
sejumlah gelar : Shaikh al-Ishraq, Master of Illuminationist, al-Hakim,
ash-Shahid, the Martyr, dan al-Maqtul.
Sebagaimana
umumnya para intelektual muslim, Suhrawardi juga melakukan perjalanan ke
berbagai daerah untuk mengembangkan wawasannya. Wilayah pertama yang ia
kunjungi adalah Maragha yang berada di kawasan Azerbaijan. Di kota ini ia
belajar filsafat, hukum dan teologi kepada Majd al-Din al-Jili. Untuk
memperdalam kajian filsafat ia juga berguru pada Fakhr al-Din al-Mardini.
Tampaknya tokoh terakhir ini merupakan guru filsafat yang sangat berpengaruh
bagi Suhrawardi.
Pengembaraan
ilmiahnya kemudian berlanjut ke Isfahan, Iran Tengah dan belajar logika kepada
Zahir al-Din al-Qari. Dia juga mempelajari logika dari buku al-Basa’ir
al-Nasiriyyah karya Umar ibn Sahlan al-Sawi. Dari Isfahan ia melanjutkan
perjalanannya ke Anatolia Tenggara dan diterima dengan baik oleh pangeran Bani
Saljuq. Setelah itu pengembaraan Suhrawardi berlanjut ke Persia yang merupakan
“gudang” tokoh-tokoh sufi. Di sini ia tertarik kepada ajaran tasawuf dan akhirnya
menekuni mistisisme. Dalam hal ini Suhrawardi tidak hanya mempelajari
teori-teori dan metode-metode untuk menjadi sufi, tetapi sekaligus
mempraktekkannya sebagai sufi sejati. Dia menjadi seorang zahid yang menjalani
hidupnya dengan ibadah, merenung, kontemplasi, dan berfilsafat. Dengan pola
hidup seperti ini akhirnya dalam diri Suhrawardi terkumpul dua keahlian
sekaligus, yakni filsafat dan tasawuf. Dengan demikian ia dapat dikatakan
sebagai seorang filosof sekaligus sufi.
Perjalanannya
berakhir di Aleppo, Syria. Di sini ia berbeda pandangan dengan para fuqaha
sehingga akhirnya ia dihukum penjara oleh gubernur Aleppo Malik al-Zahir atas
perintah ayahnya Sultan Salahuddin al-Ayyubi di bawah tekanan para fuqaha yang
tidak suka dengan pandangannya. Akhirnya Suhrawardi meninggal pada 29 Juli 1191
M/578 H dalam usia 36 tahun (kalender Shamsiyyah) atau 38 tahun (kalender
qamariyyah). Namun demikian penyebab langsung kematiannya tidak diketahui
secara pasti, hanya menurut Ziai ia mati karena dihukum gantung. Kematiannya
yang tragis ini merupakan konsekuensi yang harus ia terima atas pandangannya
yang berseberangan dengan para tokoh pada masa itu.
B. Karya-karya Suhrawardi
Suhrawardi
adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia termasuk dalam
jajaran para filosof-sufi yang sangat produktif sehingga dalam usianya yang
relatif pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya. Hal ini menunjukkan
kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat dan tasawuf yang ia tekuni.
Dalam
konteks karya-karyanya ini, Hossein Nasr mengklasifikasikan-nya menjadi lima
kategori sebagai berikut :
a. Memberi interpretasi
dan memodifikasi kembali ajaran peripatetik. Termasuk dalam kelompok ini antara
lain kitab : At-Talwihat al-Lauhiyyat al-‘Arshiyyat, Al-Muqawamat, dan Hikmah
al-‘Ishraq.
b. Membahas tentang
filsafat yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami :
Al-Lamahat, Hayakil al-Nur, dan Risalah fi al-‘Ishraq.
c. Karya yang bermuatan
sufistik dan menggunakan lambang yang sulit dipahami : Qissah al-Ghurbah al
Gharbiyyah, Al-‘Aql al-Ahmar, dan Yauman ma’a Jama’at al-Sufiyyin.
d. Karya yang merupakan
ulasan dan terjemahan dari filsafat klasik : Risalah al-Tair dan Risalah fi
al-‘Ishq.
e. Karya yang berupa
serangkaian do’a yakni kitab Al-Waridat wa al-Taqdisat.
Banyaknya
karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai ajaran agama-agama
terdahulu, filsafat kuno dan filsafat Islam. Ia juga memahami dan menghayati
doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi abad III dan IV H. Oleh
karena itu tidak mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar serta
memunculkan sebuah corak pemikiran baru, yang kemudian dikenal dengan corak
pemikiran mistis-filosofis (teosofi).
Ajaran Tarekat Suhrawardiyah
Sebagaimana
ditegaskan oleh Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani bahwa, ajaran dan ritual
Tarekat Suhrawardiyah terdapat pada kitab Awarif al-Ma’arif yang banyak
membicarakan tentang latihan rohani praktis. Maka dapat dirangkum bahwa ajaran
dan ritual Tarekat Suhrawardiyah itu terdiri dari :
1. Ma’rifah, yaitu
mengenal Allah melalui sifat-sifat Allah dalam bentuk terinci dengan memahami
bahwa Allah saja-lah Wujud Hakiki dan Pelaku Mutlak, seperti memahami wujud
Allah melalui kejadian dan musibah. Karena itu ma’rifah adalah menaruh
kebenaran kepada perbuatan Allah yang diawali dengan amalan-amalan, kemudian
meningkat kepada Ahwal, selanjutnya menjadi mahabbah kepada Allah dalam
pengabdian dan sujud dihadapan Allah.
Ma’rifah ini terdiri
dari berbagai tingkatan, yaitu :
a. Setiap akibat yang timbul adalah berasal dari Pelaku Mutlak (Allah);
b. Setiap akibat yang berasal dari Pelaku Mutlak adalah hasil dari sifat tertentu yang dimiliki Allah;
c. Dalam keangungan setiap sifat Allah, diketahui maksud dan tujuan Allah;
d. Sifat Ilmu Allah, diketahui dalam ma’rifah-Nya sendiri.
a. Setiap akibat yang timbul adalah berasal dari Pelaku Mutlak (Allah);
b. Setiap akibat yang berasal dari Pelaku Mutlak adalah hasil dari sifat tertentu yang dimiliki Allah;
c. Dalam keangungan setiap sifat Allah, diketahui maksud dan tujuan Allah;
d. Sifat Ilmu Allah, diketahui dalam ma’rifah-Nya sendiri.
2. Faqr, yaitu tidak
memiliki harta, seorang penempuh jalan hakikat tidak akan sampai ke tujuan,
kecuali jila ia sudah melewati tahap ke-zuhud-an. Seseorang yang menginginkan
dunia, meski tak memiliki harta, makna Faqr hanyalah sekedar angan-angan
belaka.
Sebab Faqr bermakna tidak mengumpulkan harta,
meski sangat menginginkannya; kebiasaannya tidak memiliki harta, meski bersikap
zuhud; kebenarannya adalah kemustahilan memiliki harta. Seorang pemilik hakikat
melihat segala sesuatu dengan sarananya dalam kekuasaan Allah, oleh sebab itu
ia memandang menyerahkan harta kepada orang lain dibolehkan. Faqr dalam diri
manusia pemilik hakikat adalah sebuah sifat alami, baik memiliki atau tidak
memiliki harta, sifat alami itu tidak akan berubah.
Dalam hal ini ada beberapa
golongan Faqr, yaitu :
a.
Mereka
yang memandang dunia dan harta bukan sebagai kekayaan, jika mereka memiliki
harta, mereka akan memberikannya kepada orang lain, sebab mereka tidak
menginginkannya dalam kehidupan dunia ini, tetapi di akhirat nanti;
b.
Mereka
yang tidak memperhitungkan amal-amal dan ibadahnya, meski semua itu bersumber
dari dirinya dan tidak mengharapkan ganjaran apa pun;
c.
Mereka
yang dengan kedua sifat ini tidak memandang hal dan maqamnya, semua itu mereka
pandang sebagai anugeral Allah;
d. Mereka yang tidak menganggap zat dan eksistensi mereka sendiri sebagai milik mereka. Zat, kualitas, Hal, maqam dan amal mereka tidaklah ada dan bukan apa-apa serta tidak meninggalkan apa-apa di dunia dan di akhirat.
d. Mereka yang tidak menganggap zat dan eksistensi mereka sendiri sebagai milik mereka. Zat, kualitas, Hal, maqam dan amal mereka tidaklah ada dan bukan apa-apa serta tidak meninggalkan apa-apa di dunia dan di akhirat.
3. Tawakkul, yaitu
mempercayakan segala urusan kepada Pelaku Mutlak (Allah), mempercayakan jaminan
rezki kepada-Nya. Tahan ini terletak sesudah raja’ (harapan), sebab yang pertama
akan memahami rahmat-Nya. Tawakkul adalah hasil dari kebenaran keimanan melalui
pertimbangan yang baik dan takdir. Tawakkul ini terbagi kepada dua, pertama
Tawakkul al-inayah, artinya tawakal dalam anugerah Allah, keduatawakkul
al-kifayah, artinya tawakal dalam keindahan dan kehendak Allah, bukan tawakal
dalam kecukupan.
4. Mahabbah, artinya
Cinta kepada Allah, ini merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, seperti
taubat adalah dasar bagi kemuliaan maqam. Mahabbah adalah kecenderungan hati
untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.
Ada dua jenis mahabbah :
1). Mahabbah ‘am, yaitu mahabbah yang memiliki sifat :
a. kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan sifat-sifat;
b. Sebuah bulan muncul karena memandang sifat-sifat keindahan;
c. Seberkas cahaya yang mengisi wujud;
d. Sebuah tanda yang berkata “aku meniru apa yang murni dan mengucapkan selamat tinggal pada apa yang sangat gamblang”;
e. Anggur terbaik, tersegel dan terperam oleh waktu;
f. Sejenis anggur yang murni dan tidak murni, jernih dan kotor, ringan dan berat.
1). Mahabbah ‘am, yaitu mahabbah yang memiliki sifat :
a. kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan sifat-sifat;
b. Sebuah bulan muncul karena memandang sifat-sifat keindahan;
c. Seberkas cahaya yang mengisi wujud;
d. Sebuah tanda yang berkata “aku meniru apa yang murni dan mengucapkan selamat tinggal pada apa yang sangat gamblang”;
e. Anggur terbaik, tersegel dan terperam oleh waktu;
f. Sejenis anggur yang murni dan tidak murni, jernih dan kotor, ringan dan berat.
2). Mahabbah Khas, memiliki sifat
:
a.
Kecenderungan jiwa untuk menyaksikan keindahan zat;
b. Bagaikan matahari, yang terbit dari horizon zat;
c. Api yang memurnikan wujud;
d. Sebuah tanda yang berkata “jangan hidup dan jangan terbakar”;
e. Benar-benar sumber murni;
f. Sejenis anggur kemurnian dalam kemurnian, kejernihan dalam kejernihan dan kekeringan dalam kekeringan.
b. Bagaikan matahari, yang terbit dari horizon zat;
c. Api yang memurnikan wujud;
d. Sebuah tanda yang berkata “jangan hidup dan jangan terbakar”;
e. Benar-benar sumber murni;
f. Sejenis anggur kemurnian dalam kemurnian, kejernihan dalam kejernihan dan kekeringan dalam kekeringan.
5.
Fana’ dan Baqa’, Fana’ artinya akhir daei perjalanan menuju Allah,
sementara Baqa’ artinya awal dari perjalanan dalam Allah. Perjalan menuju Allah
berakhir ketika dengan ketulusan. Perjalanan di dalam Allah bisa diuji ketika,
sesudah fana’ mutlak.
Ada yang mengatakan fana’ berarti :
a. Fana’ dalam berbagai perbedaan;
b. Menurunnya keinginan akan segala kesenangan duniawi;
c. Menurunnya keinginan akan segala kesenangan akan dunia dan akhirat nanti;
d. Menurunnya kadar sifat-sifat tercela;
e. Tersembunyinya segala sesuatu.
Ada yang mengatakan fana’ berarti :
a. Fana’ dalam berbagai perbedaan;
b. Menurunnya keinginan akan segala kesenangan duniawi;
c. Menurunnya keinginan akan segala kesenangan akan dunia dan akhirat nanti;
d. Menurunnya kadar sifat-sifat tercela;
e. Tersembunyinya segala sesuatu.
Sementara Baqa’ berarti :
1. Baqa’ dalam keselarasan;
2. Baqa’ dalam kesenanagan kehidupan di akhirat kelak;
3. Baqa’ dalam kesenangan di dalam Allah;
4. Baqa’ dalam sifat-sifat terpuji;
5. Kehadiran Allah. Fana terbagi pula kepada dua, yaitu Fana’ lahiriyah (fana dalam bebrbagai perbuatan dan keangungan berbagai perbuatan Ilahi) dan Fana bathiniyah (Fana dalam sifat dan zat).
1. Baqa’ dalam keselarasan;
2. Baqa’ dalam kesenanagan kehidupan di akhirat kelak;
3. Baqa’ dalam kesenangan di dalam Allah;
4. Baqa’ dalam sifat-sifat terpuji;
5. Kehadiran Allah. Fana terbagi pula kepada dua, yaitu Fana’ lahiriyah (fana dalam bebrbagai perbuatan dan keangungan berbagai perbuatan Ilahi) dan Fana bathiniyah (Fana dalam sifat dan zat).
v Pemikiran Teosofis Suhrawardi
Pengertian Teosofi
Secara etimologis kata teosofi berasal dari kata
theosophia, gabungan dari kata theos yang berarti Tuhan dan shophia yang
berarti knowledge, doctrine, dan wisdom. Jadi secara literal teosofi berarti
pengetahuan atau keahlian dalam masalah-masalah ketuhanan.
Dalam kaitan dengan
bidang kajiannya, ada term lain yang mirip dengan teosofi, yaitu teologi. Kedua
istilah ini mengacu pada pembahasan terhadap masalah-masalah ketuhanan,
perbedaannya terletak pada operasionalnya. Di dalam mengkaji masalah ketuhanan,
teologi menggunakan pendekatan spekulatif-intelektual dalam menginterpretasikan
hubungan antara manusia, alam semesta, dan Tuhan. Sementara teosofi lebih
menukik pada inti permasalahan dengan menyelami misteri-misteri ketuhanan yang
paling dalam. Orang yang ahli dalam bidang teologi disebut teolog sementara
orang yang ahli teosofi dinamakan teosofos.
Dalam pemahaman
Suhrawardi, pengertian teosofos menjadi lebih luas. Menurutnya teosofos adalah
orang yang ahli dalam dua hikmah sekaligus, yakni hikmah nazariyyah dan hikmah
‘amaliyyah. Adapun yang dimaksud dengan hikmah nazariyyah ialah filsafat
sementara hikmah ‘amaliyyah ialah tasawuf.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa
teosofi adalah pemahaman tentang misteri-misteri ketuhanan yang diperoleh
melalui pemikiran filosofis-sufistis sekaligus, sedangkan teosofos adalah orang
yang mampu mengawinkan latihan intelektual teoritis melalui filsafat dengan
penyucian jiwa melalui tasawuf dalam mencapai pemahaman tersebut.
v Konsep Teosofi Suhrawardi
Pemikiran teosofi Suhrawardi berujung pada
konsep cahaya (iluminasi, ishraqiyyah) yang lahir sebagai perpaduan antara
rasio dan intuisi. Istilah Ishraqi sendiri sebagai simbol geografis mengandung
makna timur sebagai dunia cahaya. Sementara mashriq yang berarti tempat
matahari terbit merefleksikan sumber cahaya.
Sebelum menawarkan konsep iluminasi, Suhrawardi
pada mulanya mengikuti pola emanasi yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh
peripatetik, terutama al-Farabi dan Ibn Sina, yang membagi arah pemikiran tiap
akal yang dihasilkan ke dalam tiga posisi : 1) posisi akal-akal sebagai wajib
al-wujud lighairihi, 2) sebagai mumkin al-wujud lidhatihi, dan 3) sebagai
mahiyah/zatnya sendiri. Akal pertama, dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai
wajib al-wujud lighairihi memunculkan akal kedua, dengan memikirkan dirinya
sendiri sebagai mumkin al-wujud lidhatihi memunculkan jirm al-falak al-aqsa,
dan dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai mahiyah menimbulkan nafs al-falak
al-muharrik. Begitu seterusnya sampai akal X sebagai al-‘Aql al-fa’al yang
menyebabkan adanya alam. (Gambaran lengkap mengenai emanasi al-farabi dan Ibn
Sina lihat lampiran 1 dan 2).
Sebagai pembanding dari teori emanasi di atas, Suhrawardi memformulasikan teori baru, yakni teori iluminasi, yang sebenarnya merupa-kan koreksi atas pembatasan akal sepuluh pada teori emanasi. Dalam teorinya ini Suhrawardi tampaknya keberatan dengan adanya posisi akal sebagai wajib al-wujud lighairihi, mumkin al-wujud lidhatihi, dan mahiyah. Menurutnya, bagaimana mungkin dari satu akal memunculkan falak-falak dan kawakib yang tak terhitung banyaknya? Dengan menetapkan tiga posisi akal seperti yang disebutkan di atas, maka mustahil bagi akal tertinggi memiliki persambungan dengan falak-falak dan kawakib yang sangat banyak itu. Oleh karenanya, Suhrawardi menolak pembatasan akal hanya pada jumlah sepuluh.
Sebagai pembanding dari teori emanasi di atas, Suhrawardi memformulasikan teori baru, yakni teori iluminasi, yang sebenarnya merupa-kan koreksi atas pembatasan akal sepuluh pada teori emanasi. Dalam teorinya ini Suhrawardi tampaknya keberatan dengan adanya posisi akal sebagai wajib al-wujud lighairihi, mumkin al-wujud lidhatihi, dan mahiyah. Menurutnya, bagaimana mungkin dari satu akal memunculkan falak-falak dan kawakib yang tak terhitung banyaknya? Dengan menetapkan tiga posisi akal seperti yang disebutkan di atas, maka mustahil bagi akal tertinggi memiliki persambungan dengan falak-falak dan kawakib yang sangat banyak itu. Oleh karenanya, Suhrawardi menolak pembatasan akal hanya pada jumlah sepuluh.
Selanjutnya Suhrawardi mengganti istilah
akal-akal dalam teori emanasi itu dengan istilah cahaya-cahaya. Secara teknis
proses iluminasi cahaya-cahaya tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Proses iluminasi Suhrawardi dimulai dari Nur
al-Anwar yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna,
Mandiri, Esa, sehingga tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah.
Nur al-Anwar ini hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut Nur al-Aqrab.
Selain Nur al-Aqrab tidak ada lainnya yang muncul bersamaan dengan cahaya
terdekat. Dari Nur al-Aqrab (cahaya pertama) muncul cahaya kedua, dari cahaya
kedua muncul cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari
cahaya keempat timbul cahaya kelima, dari cahaya kelima timbul cahaya keenam,
begitu seterusnya hingga mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak.
Pada setiap tingkat penyinaran setiap cahaya
menerima pancaran langsung dari Nur al-Anwar, dan tiap-tiap cahaya dominator
meneruskan cahayanya ke masing-masing cahaya yang berada di bawahnya, sehingga
setiap cahaya yang berada di bawah selalu menerima pancaran dari Nur al-Anwar
secara langsung dan pancaran dari semua cahaya yang berada di atasnya sejumlah
pancaran yang dimiliki oleh cahaya tersebut. Dengan demikian, semakin bertambah
ke bawah tingkat suatu cahaya maka semakin banyak pula ia menerima pancaran.
Mengacu pada proses penerimaan cahaya yang
digambarkan di atas, maka dari proses penyebaran cahaya menurut iluminasi
Suhrawardi dapat diperoleh gambaran hasil jumlah pancaran yang dimiliki oleh
tiap-tiap cahaya. Cahaya I (Nur al-Aqrab) memperoleh 1 kali pancaran, cahaya II
memperoleh 2 kali pancaran, cahaya III memperoleh 4 kali pancaran, cahaya IV
memperoleh 8 kali pancara, cahaya V memperoleh 16 kali pancaran, cahaya VI
memperoleh 32 kali pancaran, cahaya, VII memperoleh 64 kali pancaran, cahaya
VIII memperoleh 128 kali pancaran, cahaya IX memperoleh 256 kali pancaran, dan
cahaya X memperoleh 512 kali pancaran, begitu seterusnya. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa setiap cahaya yang berada di bawah akan menerima pancaran
sebanyak dua kali jumlah pancaran yang dimiliki cahaya yang berada setingkat di
atasnya.
Senada dengan teori emanasi, teori iluminasi ini
juga membentuk susunan kosmologi yang terpancar dari cahaya-cahaya pada tiap
tingkatan. Susunan tersebut, dari cahaya pertama sampai cahaya kesepuluh secara
berturut-turut, adalah The great sphere of diurnal motion, the sphere of fixed
stars, the sphere of Saturn, the sphere of Jupiter, the sphere of mars, the
sphere of the sun, the sphere of venus, the sphere of mercuri, the sphere of
moon, the sphere of ether, dan the sphere of zamharir yang dikenal sebagai
ruang perbatasan dengan sfera bumi.
Memperhatikan pemikiran Suhrawardi tentang
iluminasi ini mengingatkan kita kepada sebuah firman Allah dalam Surat al-Nur
ayat 35 berikut ini :
Artinya : Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Artinya : Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Dalam konteks iluminasi
Suhrawardi, posisi pelita besar dalam ayat di atas merupakan penjelmaan dari
Nur al-Anwar yang menjadi sumber dari segala cahaya, sedangkan cahaya yang
terpancar dari pelita besar itu diposisikan sebagai Nur al-Aqrab sebagai cahaya
yang pertama kali terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya cahaya yang
terpancar dari Nur al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang kemudian
menghasilkan banyak cahaya yang saling memancar dan menghasilkan cahaya lain.
Dari proses seperti inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya lahir.
Berdasarkan pemahaman seperti ini, maka agaknya
ayat inilah yang mendasari atau paling tidak menjadi inspirator bagi Suhrawardi
dalam merumuskan teori iluminasinya.
v Pengaruh Teosofi Suhrawardi
Suhrawardi boleh saja dihentikan hidupnya, akan tetapi warisan yang
ditinggalkannya tetap hidup. Dia mampu survive di tengah kekuasaan yang
mengekang kebebasan intelektualnya. Idealisme tinggi yang ia miliki
mendorongnya untuk tetap berjuang mempertahankan apa yang diyakini sebagai
kebenaran.
Hasil pemikiran Suhrawardi juga
mampu mempengaruhi generasi-generasi sesudahnya. Hal ini dapat ditelusuri
melalui karya-karya yang muncul belakangan yang indikatornya antara lain
terlihat dari adanya tanggapan yang ditunjukkan oleh generasi setelahnya baik
berupa komentar, sanggahan ataupun kritik. Pengaruh pemikirannya ini dapat
ditelusuri melalui aspek geografis, kontinuitas hubungan antara guru dan murid,
dan perdebatan pro-kontra di sekitar pemikirannya.
Dari aspek geografis, pengaruh
pemikiran Suhrawardi berkembang di Persia lalu menyebar ke India-Pakistan,
Syria, Anatolia, dan bahkan ke Eropa. Di Persia perkembangan pengaruh pemikiran
Suhrawardi ini didukung oleh beberapa faktor antara lain : faktor tanah
kelahiran, faktor historis dan kultur, serta dukungan politis penguasa Safawi
terhadap pengembangan intelektual di Persia.
Di India
penyebaran pengaruh pemikiran Suhrawardi berawal dari penerjemahan
karya-karyanya, terutama karya monumentalnya Hikmah al-Ishraq yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Sanskrit. Penyebaran ini juga ditopang oleh
perhatian penguasa, seperti Sultan Muhammad ibn Tughlug (1325 M), yang besar
terhadap pengembangan intelektual di India. Perhatian itu tidak hanya terbatas
pada penciptaan suasana yang kondusif tetapi juga penyediaan anggaran untuk
fasilitas pendidikan seperti asrama dan perpustakaan yang banyak berisi
karya-karya filsafat terutama dari Ibn Sina, Nasir al-Din al-Tusi, dan Qut}b
al-Din al-Shirazi. Sebagaimana diketahui bahwa dua tokoh terakhir ini adalah
pengikut Suhrawardi. Berdasarkan fakta ini maka dapat diasumsikan bahwa doktrin-doktrin
hasil pemikiran Suhrawardi telah mulai dikaji oleh para ilmuan di India.
Jejak pemikiran Suharawardi di
Syria dan Anatolia dapat ditelusuri melalui koleksi-koleksi manuskrip yang
terdapat di perpustakaan Turki. Data-data koleksi pustaka yang ada
mengindikasikan bahwa pemikiran Suhrawardi juga dipelajari oleh para sarjana
Turki. Sementara itu, seperti sudah diketahui bahwa dalam pengembaraan
intelektualnya Suhrawardi pernah singgah di Syiria untuk berdiskusi dan
berdebat dengan para sahabatnya. Dari diskusi dan perdebatan itu serta sejumlah
karya yang ia selesaikan di Syria ikut membuka peluang bagi dipelajarinya
pemikiran Suhrawardi di negeri ini.
Berbeda dengan kawasan-kawasan
yang telah disebutkan di atas, di Eropa, pemikiran Suhrawardi pada mulanya
kurang mendapat perhatian yang serius, tidak seperti filosof muslim lainnya
seperti Ibn Sina, al-Farabi, dan Ibn Rushd yang karya-karyanya banyak
diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Karya-karya Suhrawardi tidak
diterjemahkan sehingga mereka tidak mengenal dengan baik pemikiran teosofis
Suhrawardi.
Baru pada abad XX sejumlah
sarjana Barat seperti Carra de Vaux, Max Horten, Lois Massignon, Otto Spies,
dan Henry Corbin mulai melirik karya-karya Suhrawardi yang mereka anggap
sebagai tokoh penting pasca Ibn Sina.
Sedangkan dari segi kontinuitas
hubungan antara guru dan murid serta perdebatan pro-kontra di sekitar
pemikirannya, pengaruh pemikiran Suhrawardi ini terlihat dari lahirnya
tokoh-tokoh yang berusaha melestarikan ajarannya dari abad ke abad. Pada abad
XIII, misalnya, lahir komentator pemikiran Suhrawardi seperti Shams al-Din
Muhammad Shahrazuri (w. 1288) dan Sa’d bin Mansur Ibn Kammunah (w. 1284). Pada
abad XIV muncul tokoh Qutb al-Din al-Shirazi (w. 1311), pada abad XVI ada
Jalaluddin Muhammad Ibn Sa’d al-Din al-Dawwani (w. 1502) dan Ghiyath al-Din
Mansur al-Shirazi (w. 1542), pada abad XVII lahir tokoh Muhammad Sharif Niz}am
al-Din al-Harawi dan S}adr al-Din al-Shirazi, pada abad XIX terdapat Mulla Ali
Nuri (w. 1830) dan Mulla Hadi Sabziwari (w. 1878), dan pada abad XX terdapat
tokoh Muhammad Hussein Tabattaba’i serta Seyyed Hossein Nasr.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.google.co.id/search?dcr=0&source=hp&ei=wWKaWrO0HMiP8wXPq6mADA&q=tarekat+suhrawardiyah&oq=tarekot+suh&gs_l=psy-ab.3.0.0i13k1j0i13i30k1l6j0i13i5i30k1l4.603.11367.0.13928.28.23.4.0.0.0.304.3265.0j14j2j2.18.0....0...1.1.64.psy-ab..6.17.2473.0..0j0i67k1j0i131k1j0i10k1j0i203k1j0i10i203k1j0i30k1j0i10i30k1j0i13i10i30k1j0i8i13i30k1j33i160k1.0.G46_iD-8ZVg
https://milidajiruddin4bersaudara.wordpress.com/2013/09/22/tarikat-suhrawardiyah-

Komentar