MODEL KEPEMIMPINAN PROFETIK NABI MUSA A.S


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
     Bicara tentang kepemimpinan nabi merupakan suatu permasalahan topik  yang cukup menarik untuk dibahas. Pasalnya ada banyak hikmah yang dapat kita petik atau ditauladani berdasarkan kepemimpinan Nabi terdahulu yang telah terbukti kesuksesanya dalam menggandeng umat.
     Adapun Musa adalah seorang yang sangat lembut hatinya lebih dari setiap manusia yang ada di atas muka bumi Musa, merupakan salah satu tokoh besar dalam sejarah bangsa Israel. Ketokohan Musa tercacat mulai dari kelahirannya, kisah drama bagaimana bayi Musa diselamatkan dari rencana pembunuhan bayi oleh perintah Raja Firaun, kemudian Musa diangkat menjadi anak angkat Firaun, dibesarkan di istana Firaun,
     Dari uraian singkat ini Penulisan mencoba mengupas seperti apa model kepemimpinan Profetik Nabi Musa A.S
B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Apakah Pengertian Kepemimpinan Profetik Nabi Musa A.S ?
2.      Bagaimana konsep Kepemimpinan Nabi Musa A.S ?
3.      Apa saja dimensi Kepemimpinan Nabi Musa A.S?

C.    TUJUAN PENULISAN

1.    Untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Prophetik Leadership.
2.    Untuk mengetahui pengertian Kepemimpinan Profetik Nabi Musa A.S
3.    Untuk mengetahui konsep Kepemimpinan Nabi Musa A.S
4.    Untuk mengetahui dimensi Kepemimpinan Nabi Musa A.S


BAB II
PEMBAHASAN

A.         PENGERTIAN KEPEMIMPINAN PROFETIK NABI MUSA A.S

     Kepemimpinan Profetik adalah suatu ilmu dan seni karismatik dalam proses interaksi antara pemimpin dan yang dipimpin dalam sebuah kelompok atau organisasi yang mana pemimpin mampu menjadi panutan, menginspirasi, mengubah persepsi, struktur situasi pemikiran dan mampu mewujudkan harapan bawahannya sebagaimana para nabi dan rosul (Profetik).
     Kepemimpinan Profetik Nabi Musa – Masalah kepemimpinan (leadership) lebih besar cakupannya daripada masalah kekuasaan (rulership), sebagaimana pengaruh (influence) lebih luas jangkauannya daripada kekuasaan formal (power). Seorang pemimpin (the leader) tak harus menduduki jabatan tertentu untuk membuktikan kemampuannya dalam mengarahkan (to direct) orang-orang yang berada di bawah pengaruhnya untuk mencapai tujuan bersama. Sementara, seorang penguasa (the ruler) belum tentu mampu mengendalikan (to control) para pengikut yang dikuasainya secara formal. Kepemimpinan berkaitan dengan kualitas yang lebih sublim dibanding kekuasaan.
     Tak semua orang yang memiliki ambisi kekuasaan menyadari hakekat tersembunyi ini. Bahkan, seorang Nabi seperti Musa (Moses) mengalami suatu proses pembelajaran (learning process) yang panjang sebelum sampai pada puncak kesadaran akan pentingnya mencerna dan menerapkan nilai-nilai kepemimpinan (leadership values) yang luhur. Proses itu harus dilalui Musa bersama Sang Guru (The Teacher) yang bernama Khidir.
     Banyak rujukan yang memuat kisah Musa dan perjuangannya untuk membebaskan Bani Israil dari cengkeraman penindasan dan perbudakan Fir’aun (Pharaoh) di Mesir. Rujukan itu bersumber dari tiga ajaran Agama Samawi (Abrahamic Religions), yakni Yahudi, Kristen dan Islam. Artikel ini menggali salah satu rujukan saja dari agama Islam, sambil membuka peluang diskusi dari sudut pandang yang berbeda. Dalam kitab Genesis diceritakan tentang sosok Melchisedec (King of Salem) yang dipercaya sebagai personifikasi Khidir.[1] Banyak  hikmah yang bisa kita ambil dari perjalan Nabi Musa dengan gurunya Nabi Khidir A.S.
Pelajaran dari Khidir
     Di sinilah, sikap seorang Guru dan kualitas keilmuannya diuji. Meski mendapat pertanyaan dan protes dari muridnya, Sang Guru tetap konsisten dengan metoda pembelajaran yang diyakini benar dan bertujuan baik.         Mendidik seorang calon pemimpin (educating the Leader), seperti Musa, tentu lebih sulit daripada membina orang biasa. Sebaliknya, pelajaran yang diberikan kepada seorang calon pemimpin (lesson for the Leader) tentu pula harus berbeda muatannya dibanding warga biasa. Maka, Khidir mengungkapkan tiga pelajaran penting bagi seorang calon pemimpin.
     Pertama, kata Khidir sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an, perahu yang mereka tumpangi adalah milik nelayan miskin. Di lautan ada raja perompak yang akan merampas setiap perahu yang dilihat menarik dan mungkin mengangkut muatan berharga. Karena itu, Khidir sengaja “merusak sedikit penampilan perahu” itu agar tidak menarik perhatian banyak orang, sehingga sang nelayan selamat dari serangan para perompak. Sangat mungkin Khidir membayar biaya kerusakan yang ditimbulkannya, karena tidak ingin menyulitkan sang nelayan. Khidir mengajarkan pentingnya menjaga “penampilan perahu” (organizational performance).
     Musa adalah pemimpin Bani Israel yang sedang mengalami penindasan berat dari rezim tiranik di masa itu. Kondisi kolektif Bani Israel sangat rapuh, karena setiap saat nyawa mereka terancam oleh tindakan kejam penguasa. Untuk itu, Musa harus menyusun barisan perjuangan dari awal secara rapi dan solid. Organisasi perjuangan yang akan mampu menggulingkan kekuasaan tiran dan membawa kebebasan bagi masyarakat lemah. Tidak mudah membangun organisasi yang solid dan efektif untuk mencapai tujuan besar di tengah tantangan yang berat. Penampilan Musa yang selama ini emosional dan cenderung arogan justru akan membahayakan eksistensi organisasi itu. “Perahu perjuangan” Bani Israel harus dijaga dengan baik agar dapat mengarungi lautan dengan selamat sampai di tempat tujuan, dan terhindar dari sergapan Fir’aun.
     Pelajaran kedua dari Khidir, bocah yang “dibunuh” itu adalah anak nakal yang sering berbuat jahat dan ingkar (thugyanan wa kufran) kepada Allah, karena itu amat membahayakan posisi orangtuanya yang shalih. Sekali lagi, dalam konteks ini, kita harus berhati-hati mencermati hukum yang berlaku di masa Khidir, yang tampaknya bersifat fisikal (misalnya, “membunuh”) dan serta-merta untuk mengakhiri sebuah kejahatan (to end the crime act directly). Tapi, pelajaran penting yang ingin diberikan Khidir kepada Musa ialah bibit kejahatan harus dihilangkan sejak dini, jangan dibiarkan hingga membesar dan melembaga. Musa dan Bani Israel sedang mengalami kekuasaan tiran yang telah melembaga dan menyejarah, yakni Fir’aun yang dijuluki juga sebagai “thaghut” (great tyran).
     Sementara Khidir menunjukkan, tiran yang masih bocah sekalipun (thugyanan) harus dihabisi, termasuk sesungguhnya yang terdapat dalam diri kita sendiri. Bukankah sering kita menyaksikan suatu kelompok oposisi mengecam perbuatan penguasa yang dinilainya zalim, padahal diam-diam mereka juga melestarikan ketidakadilan di dalam dirinya sendiri? Nah, ketika kelompok oposisi itu menang, segera terbukti kelakuannya tidak berbeda dengan penguasa yang digantikannya. Inilah peringatan keras yang ditujukan Khidir kepada Musa, bagaimana ia bisa mengalahkan Fir’aun yang berbuat sombong di hadapan Allah Yang Mahakuasa, sementara Musa sendiri bertingkah sombong (merasa paling pintar sendiri) di hadapan kaumnya yang lemah? Mari kita “bunuh tiran” (self-correction) di dalam diri kita sendiri sebelum kita “membunuh tiran” (criticism/opposition) di lingkungan lebih luas.
     Pelajaran ketiga, yang terakhir dari Khidir, adalah membangun dinding yang mau runtuh tanpa pamrih. Musa tidak mengetahui bahwa di bawah dinding runtuh itu ada harta warisan yang sangat berharga, milik anak yatim. Khidir bermaksud mengamankan harta peninggalan itu, hingga anak yatim tadi (berbeda dengan bocah nakal yang telah “dibunuhnya”) tumbuh dewasa dan siap menerima warisan orangtuanya yang shalih. Demi kebahagiaan anak yatim itu di masa depan, Khidir bersedia kerja bakti, membangun dinding runtuh tanpa upah sepeser pun. Padahal, mereka baru saja dilecehkan oleh penduduk kampung setempat, tapi Khidir tidak terpengaruh. Dia punya misi suci untuk menjamin masa depan generasi yang lebih baik[2].
     Pekerjaan membangun kapasitas organisasi (capacity building) dan mempersiapkan generasi yang lebih baik (succession) sering dipandang sebelah mata, karena dinilai tak ada untungya secara kongkrit. Tapi, seorang pemimpin yang visioner seperti dicontohkan Khidir tak peduli dengan cemoohan orang, dia tetap konsisten mengembangkan sistem pengkaderan dan penguatan organisasi, walaupun harus mengeluarkan ongkos besar.
     Salah satu faktor kelemahan Bani Israel yang belum disadari Musa saat itu ialah pemahaman mereka tentang sejarah perjuangan kolektif amat lemah, karena sumber sejarah yang tersimpan dalam tabut (semacam kotak penyimpan barang berharga) telah lama hilang. Tabut itu peninggalan keluarga Yakub yang menjadi nenek-moyang Bani Israel. Musa harus menemukan kembali tabut sejarah agar semangat perjuangan Bani Israel dapat dibangkitkan secara kolosal.[3]
B.         KONSEP KEPEMIMPINAN NABI MUSA
      Dalam kaitan dengan kepemimpinan Musa, Hutton mengangkat permasalahan: apakah kekuasaan Musa itu karismatis atau institusi.[4]  Hutton mengungkapkan bahwa para ahli mula-mula umumnya menekankan aspek karismatik pada Musa dan menganggapnya sebagai pendiri agama yang karismatis, cikal bakal nabi yang karismatis, dll.[5] Tetapi akhir-akhir ini para ahli mulai mengangkat aspek institusional dari peran Musa. Selanjutnya Hutton menuliskan:
 “One can only use the language of paradox to describe Moses’ symbolic function: he is “nonrepeatable archetype” who is “paradigmatically unique.” His persona symbolizes the convergence of the forces of “charisma” and “institution.”[6]
      Jadi topik Musa dan perannya sebagai pemimpin merupakan suatu topik yang menarik untuk diselidiki dan diselusuri. George W. Coats mengungkapkan bahwa pemimpin Kristen masa kini dapat mempelajari pola kepemimpinan Musa bagi pelayanannya.[7]
      Dalam menyelidiki Musa berdasarkan ilmu kepemimpinan, penulis mendasarkan ilmu kepemimpinan yang ditulis oleh Kartini Kartono.[8] Memang penulis dengan sengaja memilih ilmu kepemimpinan umum dalam meneliti topik ini, sehingga dalam pembahasan tentang peran Musa sebagai pemimpin dapat dimunculkan aspek-aspek kepemimpinan yang khas dari Alkitab, khususnya kitab Keluaran.
      Jika seseorang menyelusuri kepemimpinan Musa dalam kitab Keluaran, ia akan menemukan ada hal lain yang penting bagi seorang pemimpin, yaitu panggilan Ilahi. Kepemimpinan Alkitabiah menekankan mutlaknya panggilan Ilahi bagi seorang pemimpin. Panggilan Ilahi inilah yang melahirkan atau menyebabkan munculnya seorang pemimpin. Kepemimpinan Alkitabiah tak dapat dilepaskan dari rencana Allah bagi seseorang ataupun umat Allah.
      Keluaran 3 mengungkapkan panggilan Allah bagi Musa untuk menjadi seorang pemimpin, khususnya ayat 11 yang mengungkapkan: “Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir.” Allah memanggil Musa untuk memimpin orang Israel keluar dari perbudakan Mesir. Panggilan dan penjabaran tugas kepemimpinan yang jelas bagi Musa.
      Dalam rencana-Nya Allah mempersiapkan dan memanggil Musa untuk menjadi seorang pemimpin. Sebelum memanggil Musa sebagai seorang pemimpin, Allah telah mempersiapkan Musa jauh sebelumnya. Dalam rencana-Nya Allah menyelamatkan Musa dari perintah Firaun untuk membunuh seluruh bayi laki-laki orang Ibrani, bahkan Musa diangkat sebagai anak oleh puteri Firaun (Kel. 2). W.H. Grispen mengungkapkan bahwa Musa kecil ini mendapat pendidikan terbaik Mesir dalam pelbagai ilmu sebagai hak yang diterimanya sebagai anak puteri Firaun.[9] Allah dalam rencana-Nya mempersiapkan Musa dengan hal-hal yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin. James Nohnberg mengungkapkan bahwa Musa adalah “a Hebrew Egyptian and an Egyptian Hebrew”.[10] Dualitas ini merupakan bagian persiapan Allah untuk Musa sebagai pemimpin yang membebaskan bangsa Israel dari kekuasaan bangsa Mesir. Bahkan pelarian di Midian sesudah membunuh orang Mesir harus dilihat sebagai bagian persiapan Allah bagi Musa.
      Panggilan Ilahi itu juga lebih kuat dan mengalahkan keraguan dan kelemahan pribadi Musa (Kel. 3-4). Allah menolong Musa untuk mengatasi keraguan dan kelemahannya dengan pelbagai perlengkapan yang dibutuhkannya sebagai seorang pemimpin. Allah memperkenalkan Diri-Nya sebagai AKU ADALAH AKU (Kel. 3:14). Allah memberikan Musa kemampuan untuk melakukan pelbagai mujizat (Kel. 4:2-9). Allah memberikan Harun untuk menjadi pendamping dan juru bicara Musa (Kel. 4:14-16).
       Kepemimpinan Alkitabiah bersumberkan pada panggilan Ilahi. Allah memanggil seseorang untuk menjadi seorang pemimpin. Allah yang memanggil itu, Allah yang menyertai dan memperlengkapi pemimpin yang dipilih dan dipanggil-Nya itu.
       Hutton mengungkapkan tentang Musa sebagai berikut: “He is the leader of Israel by divine appointment, yet leads at the people’s request.[11] Jabatan Musa sebagai pemimpin merupakan panggilan dan pengangkatan Ilahi, tetapi panggilan Ilahi dalam diri Musa terwujud melalui peran kepemimpinan bagi bangsa Israel. Bangsa Israel merasakan dan mengalami manfaat yang besar dari ketaatan Musa terhadap Allah yang memanggilnya sebagai seorang pemimpin.



C.    DIMENSI KEPEMIMPINAN NABI MUSA A.S
      Dalam keluarga yang tidak sehat dimana relasi suami-istri buruk, masalah anak yang sekecil apa pun berpotensi untuk berkembang, akibat tidak adanya kerangka yang dapat menahan lajunya perkembangan masalah. Itu sebabnya peran pemimpin sangatlah penting. Di setiap organisasi bisa saja timbul masalah dan di setiap organisasi akan ada anggotanya yang memiliki keunikan serta berpotensi bermasalah, namun jika pemimpin berfungsi dengan efektif, maka masalah akan dapat ditangani dengan segera dan sehat. Musa harus memimpin umat Israel di dalam kondisi kehidupan yang sangat sulit dan untuk kurun waktu yang panjang. Ada baiknya kita menimba pelajaran dari pengalaman Musa ini.Ada beberapa hal yang menarik, yang menjadi dimensi dari kepemimpinan Profetik Nabi Musa A.S. Diantaranya :[12]
1.      Adanya Panggilan Ilahi
Tuhan memanggil Musa dan mengutusnya untuk memimpin Israel keluar dari Mesir, “Jadi sekarang pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir.” (Keluaran 3:10) Di sini kita bisa melihat bahwa kepemimpinan Musa berawal dari panggilan Tuhan. Empat puluh tahun sebelumnya Musa mencoba menyelamatkan bangsanya namun itu bukanlah waktu dan cara Tuhan. Bagi Musa, 40 tahun yang lalu sewaktu ia berada di Mesir adalah kesempatan terbaiknya, tetapi ternyata itu bukanlah waktu Tuhan. Dari sini kita bisa menimba satu pelajaran: Kesempatan tidak identik dengan waktu Tuhan! Kendati ada kesempatan, kita tidak boleh langsung berasumsi bahwa Tuhan menghendaki kita untuk melakukannya, apalagi dalam kapasitas memimpin. Terlalu banyak masalah muncul akibat ambisi pribadi untuk menduduki kursi kepemimpinan.
2.      Adanya Misi
Bukan saja Tuhan memanggil Musa, Tuhan pun memberinya suatu tugas yaitu untuk membawa umat Tuhan keluar dari Mesir. Di ayat sebelumnya Tuhan menjelaskan kenapa Ia memanggil Musa, “Sekarang seruan orang Israel telah sampai kepada-Ku; juga telah Kulihat betapa kerasnya orang Mesir menindas mereka. “ (Keluaran 3:9) Setiap orang yang dipanggil Tuhan untuk memimpin mesti melihat dan menyadari misi yang Tuhan embankan. Tanpa misi, kepemimpinan menjadi tanpa arah. Dalam tugas kepemimpinannya, seorang pemimpin harus jelas dengan misinya sehingga ia dapat mengarahkan dan membawa pengikutnya berjalan bersamanya sampai pada penggenapan misi itu. Banyak pemimpin memulai dengan misi yang jelas namun kemudian berubah santai. Jika tidak ada lagi misi, sebaiknya pemimpin mengundurkan diri agar Tuhan dapat memakai yang lain.
3.      Adanya Kesiapan
Tuhan memilih Musa setelah mempersiapkannya terlebih dahulu. Pada penggalan pertama hidupnya, Musa digembleng ilmu kenegaraan dan peperangan di Mesir; pada penggalan kedua hidupnya Musa mengalami bentukan karakter yakni kasih dan kesabaran. Pada penggalan ketiga, barulah Tuhan memakai Musa. Seorang yang merasakan panggilan menjadi pemimpin haruslah melihat tangan Tuhan yang telah mempersiapkannya. Dan kita yang hendak memilih seorang pemimpin juga harus menilai kesiapan orang tersebut. Pada dasarnya kesiapan terdiri dari dua unsur: Kemampuan dan Karakter. Ada pemimpin yang memiliki kemampuan namun tidak memiliki karakter yang dibutuhkan. Ia akan merusak orang yang dipimpinnya. Sebaliknya, ada orang yang tidak memunyai kemampuan namun memunyai karakter yang mendukung. Ia akan menimbulkan kekacauan.
4.      Adanya Kesalehan
Apa pun itu yang Musa lakukan, ia selalu mendasarinya atas Firman Tuhan. Sewaktu ia berhadapan dengan Firaun, ia menyampaikan Firman Tuhan. Sewaktu ia harus berhadapan dengan gejolak di tengah bangsanya, ia pun kembali kepada Firman Tuhan. Tidak heran kita melihat sebuah “dwi-kepemimpinan” yaitu Tuhan dan Musa. Pemimpin yang efektif berjalan di atas rel Firman Tuhan dan bergaul akrab dengan-Nya. Sewaktu pemimpin mulai jauh dari Tuhan, ia akan makin sering memunculkan gagasan yang berasal dari ambisi pribadi dan kehilangan sentuhan dengan kepentingan Tuhan. Ia makin sulit menerima masukan dari pihak lain karena ambisi pribadilah yang lebih berperan. Makin kita dekat dengan Tuhan, makin kita tidak menggenggam posisi maupun pendapat pribadi.
5.      Adanya Kasih dan Ketegasan
Berulang kali Musa harus menghadapi pemberontakan bangsanya dan semua ia hadapi dengan kasih dan ketegasan. Ia mengasihi Israel; itu sebabnya ia melarang Tuhan memusnahkan bangsanya. Namun ia pun tegas kepada mereka yang bersalah; ia tidak ragu menghukum orang yang bersalah. Pemimpin yang tidak mengasihi pengikutnya akan terus memobilisasi mereka demi kepentingannya. Pemimpin yang mengasihi pengikutnya memikirkan kepentingan mereka dan bersedia berkorban bagi mereka. Sebaliknya, pemimpin yang tidak mengasihi justru terus meminta pengikutnya untuk berkorban seolah-olah bagi kepentingan bersama namun sesungguhnya untuk kepentingan pribadinya. Pemimpin juga mesti tegas; tanpa ketegasan ia akan menuai kekacauan. Sekali pemimpin tidak tegas, pengikut akan mulai kehilangan respek dan arah. Pada akhirnya pengikutnya akan berbuat sekehendak hati.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Kita semua harus menjalankan peran sebagai “generasi pembangun” dan bukan bukan “generasi perusak” organisasi yang telah didirikan dengan susah-payah oleh generasi terdahulu. Inilah pelajaran berharga dari Khidir: a) jaga penampilan “perahu” (organisasi) agar selamat sampai di pelabuhan tujuan,b) luruskan motivasi para “bocah nakal” (kader), dan c) bangun dinding yang mau runtuh untuk selamatkan “warisan terpendam” (misi sejarah yang sering terlupakan). Inilah pelajaran untuk seorang pemimpin yang akan membebaskan rakyatnya
2.      Model Kepemimpinan Nabi Musa diantaranya
a.       Adanya Panggilan Ilahi
b.      Adanya Misi
c.       Adanya Kesiapan
d.      Adanya Kesalehan
e.       Adanya Kasih dan Ketegasan
B.     Kritik Dan Saran
Kami sangat berharap bagi para pembaca yang budiman akan adanya kritik dan saran yang besifat konstruktif. Demi kesempurnaan makalah yang akan datang.Dan jangan hanya berhenti pada sumber yang sekiranya masih meragukan.



DAFTAR PUSTAKA
Coats,George W. The Moses Tradition. JSOT Supplement Series 161 (Sheffield:    JSOT Press, 1993), hlm 114
Kartono, Kartini .Pemimpin dan Kepemimpinan (Jakarta: Rajawali Press, 1990)
Hutton,  Rodney R., Charisma and Authority in Israelite Society (Minneapolis:     Fortress Press, 1994.hlm 18
Nohrnberg, James, Like Unto Moses: The Constituting of an Interpretation I         ndiana Studies in Biblical Literature (Bloomington: Indiana University Press, 1995),   hlmn 135.
Exodus, W.H. Grispen, (Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing House, 1982).hlmn 41
Dr. Paul Gunadihttp://www.telaga.org/berita_telaga/belajar_kepemimpinan_musa.            Diakses pada 25/02/2018 pukul 20:14 WIBhttp://bachtiar.id/kepemimpinan-profetik-nabi-musa/diakses pada 25/02/2018             pukul 20:10 WIB
https://luthfyrizaldywahono.wordpress.com/2013/01/31/kepemimpinan-nabi-          musa-dan-khidr/ diakses pada 25/02/2018 pukul 22.07 WIB.



                [1] http://bachtiar.id/kepemimpinan-profetik-nabi-musa/diakses pada 25/02/2018 pukul 20:10 WIB
[2] https://luthfyrizaldywahono.wordpress.com/2013/01/31/kepemimpinan-nabi-musa-dan-khidr/ diakses pada 25/02/2018 pukul 22.07 WIB.
                [3] http://bachtiar.id/kepemimpinan-profetik-nabi-musa/diakses pada 25/02/2018 pukul 20:15 WIB

                [4] Rodney R. Hutton, Charisma and Authority in Israelite Society (Minneapolis: Fortress Press, 1994.hlm 18
                [5] ibid, hlm 20
                [6] ibid, hlm 31
                [7] George W. Coats, The Moses Tradition. JSOT Supplement Series 161 (Sheffield: JSOT Press, 1993), hlm 114
                [8] Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan (Jakarta: Rajawali Press, 1990)
                [9] W.H. Grispen, Exodus (Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing House, 1982).hlmn 41
                [10] James Nohrnberg, Like Unto Moses: The Constituting of an Interpretation Indiana Studies in Biblical Literature (Bloomington: Indiana University Press, 1995), hlmn 135.
                [11] Hutton, hlm 40
                [12] Dr. Paul Gunadihttp://www.telaga.org/berita_telaga/belajar_kepemimpinan_musa. Diakses pada 25/02/2018 pukul 20:14 WIB

Komentar

Unknown mengatakan…
Model kepemimpinan seperti ini yang harus ada pada NKRI AAMIIN

Postingan Populer