MODEL KEPEMIMPINAN PROFETIK NABI MUSA A.S
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bicara tentang kepemimpinan nabi merupakan
suatu permasalahan topik yang cukup
menarik untuk dibahas. Pasalnya ada banyak hikmah yang dapat kita petik atau
ditauladani berdasarkan kepemimpinan Nabi terdahulu yang telah terbukti
kesuksesanya dalam menggandeng umat.
Adapun Musa adalah seorang yang sangat
lembut hatinya lebih dari setiap manusia yang ada di atas muka bumi Musa,
merupakan salah satu tokoh besar dalam sejarah bangsa Israel. Ketokohan Musa
tercacat mulai dari kelahirannya, kisah drama bagaimana bayi Musa diselamatkan
dari rencana pembunuhan bayi oleh perintah Raja Firaun, kemudian Musa diangkat
menjadi anak angkat Firaun, dibesarkan di istana Firaun,
Dari uraian singkat ini Penulisan mencoba
mengupas seperti apa model kepemimpinan Profetik Nabi Musa A.S
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah Pengertian
Kepemimpinan Profetik Nabi Musa A.S ?
2. Bagaimana konsep Kepemimpinan
Nabi Musa A.S ?
3. Apa saja dimensi Kepemimpinan
Nabi Musa A.S?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk memenuhi tugas kelompok
pada mata kuliah Prophetik Leadership.
2. Untuk mengetahui pengertian
Kepemimpinan Profetik Nabi Musa A.S
3. Untuk mengetahui konsep
Kepemimpinan Nabi Musa A.S
4. Untuk mengetahui dimensi
Kepemimpinan Nabi Musa A.S
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN KEPEMIMPINAN PROFETIK NABI MUSA A.S
Kepemimpinan Profetik adalah suatu ilmu dan
seni karismatik dalam proses interaksi antara pemimpin dan yang dipimpin dalam
sebuah kelompok atau organisasi yang mana pemimpin mampu menjadi panutan,
menginspirasi, mengubah persepsi, struktur situasi pemikiran dan mampu
mewujudkan harapan bawahannya sebagaimana para nabi dan rosul (Profetik).
Kepemimpinan Profetik Nabi Musa – Masalah
kepemimpinan (leadership) lebih besar cakupannya daripada masalah
kekuasaan (rulership), sebagaimana pengaruh (influence) lebih
luas jangkauannya daripada kekuasaan formal (power). Seorang pemimpin (the
leader) tak harus menduduki jabatan tertentu untuk membuktikan kemampuannya
dalam mengarahkan (to direct) orang-orang yang berada di bawah
pengaruhnya untuk mencapai tujuan bersama. Sementara, seorang penguasa (the ruler)
belum tentu mampu mengendalikan (to control) para pengikut yang
dikuasainya secara formal. Kepemimpinan berkaitan dengan kualitas yang lebih
sublim dibanding kekuasaan.
Tak semua orang yang memiliki ambisi
kekuasaan menyadari hakekat tersembunyi ini. Bahkan, seorang Nabi seperti Musa
(Moses) mengalami suatu proses pembelajaran (learning process) yang
panjang sebelum sampai pada puncak kesadaran akan pentingnya mencerna dan
menerapkan nilai-nilai kepemimpinan (leadership values) yang luhur.
Proses itu harus dilalui Musa bersama Sang Guru (The Teacher) yang
bernama Khidir.
Banyak rujukan yang memuat kisah Musa dan
perjuangannya untuk membebaskan Bani Israil dari cengkeraman penindasan dan
perbudakan Fir’aun (Pharaoh) di Mesir. Rujukan itu bersumber dari tiga
ajaran Agama Samawi (Abrahamic Religions), yakni Yahudi, Kristen dan
Islam. Artikel ini menggali salah satu rujukan saja dari agama Islam, sambil
membuka peluang diskusi dari sudut pandang yang berbeda. Dalam kitab Genesis
diceritakan tentang sosok Melchisedec (King of Salem) yang dipercaya
sebagai personifikasi Khidir.[1]
Banyak hikmah yang bisa kita ambil dari
perjalan Nabi Musa dengan gurunya Nabi Khidir A.S.
Pelajaran dari
Khidir
Di sinilah, sikap seorang Guru dan kualitas
keilmuannya diuji. Meski mendapat pertanyaan dan protes dari muridnya, Sang
Guru tetap konsisten dengan metoda pembelajaran yang diyakini benar dan
bertujuan baik. Mendidik seorang
calon pemimpin (educating the Leader), seperti Musa, tentu lebih sulit
daripada membina orang biasa. Sebaliknya, pelajaran yang diberikan kepada
seorang calon pemimpin (lesson for the Leader) tentu pula harus berbeda
muatannya dibanding warga biasa. Maka, Khidir mengungkapkan tiga pelajaran
penting bagi seorang calon pemimpin.
Pertama, kata Khidir sebagaimana termaktub
dalam Al Qur’an, perahu yang mereka tumpangi adalah milik nelayan miskin. Di
lautan ada raja perompak yang akan merampas setiap perahu yang dilihat menarik
dan mungkin mengangkut muatan berharga. Karena itu, Khidir sengaja “merusak
sedikit penampilan perahu” itu agar tidak menarik perhatian banyak orang,
sehingga sang nelayan selamat dari serangan para perompak. Sangat mungkin
Khidir membayar biaya kerusakan yang ditimbulkannya, karena tidak ingin
menyulitkan sang nelayan. Khidir mengajarkan pentingnya menjaga “penampilan
perahu” (organizational performance).
Musa adalah pemimpin Bani Israel yang
sedang mengalami penindasan berat dari rezim tiranik di masa itu. Kondisi kolektif
Bani Israel sangat rapuh, karena setiap saat nyawa mereka terancam oleh
tindakan kejam penguasa. Untuk itu, Musa harus menyusun barisan perjuangan dari
awal secara rapi dan solid. Organisasi perjuangan yang akan mampu menggulingkan
kekuasaan tiran dan membawa kebebasan bagi masyarakat lemah. Tidak mudah
membangun organisasi yang solid dan efektif untuk mencapai tujuan besar di
tengah tantangan yang berat. Penampilan Musa yang selama ini emosional dan
cenderung arogan justru akan membahayakan eksistensi organisasi itu. “Perahu
perjuangan” Bani Israel harus dijaga dengan baik agar dapat mengarungi lautan
dengan selamat sampai di tempat tujuan, dan terhindar dari sergapan Fir’aun.
Pelajaran kedua dari Khidir, bocah yang
“dibunuh” itu adalah anak nakal yang sering berbuat jahat dan ingkar (thugyanan
wa kufran) kepada Allah, karena itu amat membahayakan posisi orangtuanya
yang shalih. Sekali lagi, dalam konteks ini, kita harus berhati-hati mencermati
hukum yang berlaku di masa Khidir, yang tampaknya bersifat fisikal (misalnya,
“membunuh”) dan serta-merta untuk mengakhiri sebuah kejahatan (to end the
crime act directly). Tapi, pelajaran penting yang ingin diberikan Khidir
kepada Musa ialah bibit kejahatan harus dihilangkan sejak dini, jangan
dibiarkan hingga membesar dan melembaga. Musa dan Bani Israel sedang mengalami
kekuasaan tiran yang telah melembaga dan menyejarah, yakni Fir’aun yang
dijuluki juga sebagai “thaghut” (great tyran).
Sementara Khidir menunjukkan, tiran yang
masih bocah sekalipun (thugyanan) harus dihabisi, termasuk sesungguhnya yang
terdapat dalam diri kita sendiri. Bukankah sering kita menyaksikan suatu
kelompok oposisi mengecam perbuatan penguasa yang dinilainya zalim, padahal
diam-diam mereka juga melestarikan ketidakadilan di dalam dirinya sendiri? Nah,
ketika kelompok oposisi itu menang, segera terbukti kelakuannya tidak berbeda
dengan penguasa yang digantikannya. Inilah peringatan keras yang ditujukan
Khidir kepada Musa, bagaimana ia bisa mengalahkan Fir’aun yang berbuat sombong
di hadapan Allah Yang Mahakuasa, sementara Musa sendiri bertingkah sombong
(merasa paling pintar sendiri) di hadapan kaumnya yang lemah? Mari kita “bunuh
tiran” (self-correction) di dalam diri kita sendiri sebelum kita
“membunuh tiran” (criticism/opposition) di lingkungan lebih luas.
Pelajaran ketiga, yang terakhir dari
Khidir, adalah membangun dinding yang mau runtuh tanpa pamrih. Musa tidak
mengetahui bahwa di bawah dinding runtuh itu ada harta warisan yang sangat
berharga, milik anak yatim. Khidir bermaksud mengamankan harta peninggalan itu,
hingga anak yatim tadi (berbeda dengan bocah nakal yang telah “dibunuhnya”)
tumbuh dewasa dan siap menerima warisan orangtuanya yang shalih. Demi
kebahagiaan anak yatim itu di masa depan, Khidir bersedia kerja bakti, membangun
dinding runtuh tanpa upah sepeser pun. Padahal, mereka baru saja dilecehkan
oleh penduduk kampung setempat, tapi Khidir tidak terpengaruh. Dia punya misi
suci untuk menjamin masa depan generasi yang lebih baik[2].
Pekerjaan membangun kapasitas organisasi
(capacity building) dan mempersiapkan generasi yang lebih baik (succession)
sering dipandang sebelah mata, karena dinilai tak ada untungya secara kongkrit.
Tapi, seorang pemimpin yang visioner seperti dicontohkan Khidir tak peduli
dengan cemoohan orang, dia tetap konsisten mengembangkan sistem pengkaderan dan
penguatan organisasi, walaupun harus mengeluarkan ongkos besar.
Salah satu faktor kelemahan Bani Israel
yang belum disadari Musa saat itu ialah pemahaman mereka tentang sejarah
perjuangan kolektif amat lemah, karena sumber sejarah yang tersimpan dalam
tabut (semacam kotak penyimpan barang berharga) telah lama hilang. Tabut itu
peninggalan keluarga Yakub yang menjadi nenek-moyang Bani Israel. Musa harus
menemukan kembali tabut sejarah agar semangat perjuangan Bani Israel dapat
dibangkitkan secara kolosal.[3]
B.
KONSEP KEPEMIMPINAN NABI MUSA
Dalam kaitan dengan kepemimpinan Musa,
Hutton mengangkat permasalahan: apakah kekuasaan Musa itu karismatis atau
institusi.[4] Hutton mengungkapkan bahwa para ahli
mula-mula umumnya menekankan aspek karismatik pada Musa dan menganggapnya
sebagai pendiri agama yang karismatis, cikal bakal nabi yang karismatis, dll.[5]
Tetapi akhir-akhir ini para ahli mulai mengangkat aspek institusional dari
peran Musa. Selanjutnya Hutton menuliskan:
“One can only use the language of paradox
to describe Moses’ symbolic function: he is “nonrepeatable archetype” who is
“paradigmatically unique.” His persona symbolizes the convergence of the forces
of “charisma” and “institution.”[6]
Jadi topik Musa dan perannya sebagai
pemimpin merupakan suatu topik yang menarik untuk diselidiki dan diselusuri.
George W. Coats mengungkapkan bahwa pemimpin Kristen masa kini dapat
mempelajari pola kepemimpinan Musa bagi pelayanannya.[7]
Dalam menyelidiki Musa berdasarkan ilmu
kepemimpinan, penulis mendasarkan ilmu kepemimpinan yang ditulis oleh Kartini
Kartono.[8]
Memang penulis dengan sengaja memilih ilmu kepemimpinan umum dalam meneliti
topik ini, sehingga dalam pembahasan tentang peran Musa sebagai pemimpin dapat
dimunculkan aspek-aspek kepemimpinan yang khas dari Alkitab, khususnya kitab
Keluaran.
Jika seseorang menyelusuri kepemimpinan
Musa dalam kitab Keluaran, ia akan menemukan ada hal lain yang penting bagi
seorang pemimpin, yaitu panggilan Ilahi. Kepemimpinan Alkitabiah menekankan
mutlaknya panggilan Ilahi bagi seorang pemimpin. Panggilan Ilahi inilah yang
melahirkan atau menyebabkan munculnya seorang pemimpin. Kepemimpinan Alkitabiah
tak dapat dilepaskan dari rencana Allah bagi seseorang ataupun umat Allah.
Keluaran 3 mengungkapkan panggilan Allah
bagi Musa untuk menjadi seorang pemimpin, khususnya ayat 11 yang mengungkapkan:
“Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa
umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir.” Allah memanggil Musa untuk memimpin
orang Israel keluar dari perbudakan Mesir. Panggilan dan penjabaran tugas
kepemimpinan yang jelas bagi Musa.
Dalam rencana-Nya Allah mempersiapkan dan
memanggil Musa untuk menjadi seorang pemimpin. Sebelum memanggil Musa sebagai
seorang pemimpin, Allah telah mempersiapkan Musa jauh sebelumnya. Dalam
rencana-Nya Allah menyelamatkan Musa dari perintah Firaun untuk membunuh
seluruh bayi laki-laki orang Ibrani, bahkan Musa diangkat sebagai anak oleh
puteri Firaun (Kel. 2). W.H. Grispen mengungkapkan bahwa Musa kecil ini
mendapat pendidikan terbaik Mesir dalam pelbagai ilmu sebagai hak yang
diterimanya sebagai anak puteri Firaun.[9]
Allah dalam rencana-Nya mempersiapkan Musa dengan hal-hal yang dibutuhkan untuk
menjadi seorang pemimpin. James Nohnberg mengungkapkan bahwa Musa adalah “a
Hebrew Egyptian and an Egyptian Hebrew”.[10] Dualitas
ini merupakan bagian persiapan Allah untuk Musa sebagai pemimpin yang
membebaskan bangsa Israel dari kekuasaan bangsa Mesir. Bahkan pelarian di
Midian sesudah membunuh orang Mesir harus dilihat sebagai bagian persiapan
Allah bagi Musa.
Panggilan Ilahi itu juga lebih kuat dan
mengalahkan keraguan dan kelemahan pribadi Musa (Kel. 3-4). Allah menolong Musa
untuk mengatasi keraguan dan kelemahannya dengan pelbagai perlengkapan yang
dibutuhkannya sebagai seorang pemimpin. Allah memperkenalkan Diri-Nya sebagai
AKU ADALAH AKU (Kel. 3:14). Allah memberikan Musa kemampuan untuk melakukan
pelbagai mujizat (Kel. 4:2-9). Allah memberikan Harun untuk menjadi pendamping
dan juru bicara Musa (Kel. 4:14-16).
Kepemimpinan Alkitabiah bersumberkan pada
panggilan Ilahi. Allah memanggil seseorang untuk menjadi seorang pemimpin.
Allah yang memanggil itu, Allah yang menyertai dan memperlengkapi pemimpin yang
dipilih dan dipanggil-Nya itu.
Hutton mengungkapkan tentang Musa sebagai
berikut: “He is the leader of Israel by divine appointment, yet leads at the
people’s request.”[11]
Jabatan Musa sebagai pemimpin merupakan panggilan dan pengangkatan Ilahi,
tetapi panggilan Ilahi dalam diri Musa terwujud melalui peran kepemimpinan bagi
bangsa Israel. Bangsa Israel merasakan dan mengalami manfaat yang besar dari
ketaatan Musa terhadap Allah yang memanggilnya sebagai seorang pemimpin.
C. DIMENSI KEPEMIMPINAN NABI
MUSA A.S
Dalam keluarga yang tidak sehat dimana
relasi suami-istri buruk, masalah anak yang sekecil apa pun berpotensi untuk
berkembang, akibat tidak adanya kerangka yang dapat menahan lajunya
perkembangan masalah. Itu sebabnya peran pemimpin sangatlah penting. Di setiap
organisasi bisa saja timbul masalah dan di setiap organisasi akan ada
anggotanya yang memiliki keunikan serta berpotensi bermasalah, namun jika
pemimpin berfungsi dengan efektif, maka masalah akan dapat ditangani dengan segera
dan sehat. Musa harus memimpin umat Israel di dalam kondisi kehidupan yang
sangat sulit dan untuk kurun waktu yang panjang. Ada baiknya kita menimba
pelajaran dari pengalaman Musa ini.Ada beberapa hal yang menarik, yang menjadi
dimensi dari kepemimpinan Profetik Nabi Musa A.S. Diantaranya :[12]
1. Adanya Panggilan Ilahi
Tuhan memanggil
Musa dan mengutusnya untuk memimpin Israel keluar dari Mesir, “Jadi sekarang
pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang
Israel, keluar dari Mesir.” (Keluaran 3:10) Di sini kita bisa melihat bahwa
kepemimpinan Musa berawal dari panggilan Tuhan. Empat puluh tahun sebelumnya
Musa mencoba menyelamatkan bangsanya namun itu bukanlah waktu dan cara Tuhan.
Bagi Musa, 40 tahun yang lalu sewaktu ia berada di Mesir adalah kesempatan
terbaiknya, tetapi ternyata itu bukanlah waktu Tuhan. Dari sini kita bisa
menimba satu pelajaran: Kesempatan tidak identik dengan waktu Tuhan! Kendati
ada kesempatan, kita tidak boleh langsung berasumsi bahwa Tuhan menghendaki kita
untuk melakukannya, apalagi dalam kapasitas memimpin. Terlalu banyak masalah
muncul akibat ambisi pribadi untuk menduduki kursi kepemimpinan.
2. Adanya Misi
Bukan saja Tuhan
memanggil Musa, Tuhan pun memberinya suatu tugas yaitu untuk membawa umat Tuhan
keluar dari Mesir. Di ayat sebelumnya Tuhan menjelaskan kenapa Ia memanggil
Musa, “Sekarang seruan orang Israel telah sampai kepada-Ku; juga telah Kulihat
betapa kerasnya orang Mesir menindas mereka. “ (Keluaran 3:9) Setiap orang yang
dipanggil Tuhan untuk memimpin mesti melihat dan menyadari misi yang Tuhan
embankan. Tanpa misi, kepemimpinan menjadi tanpa arah. Dalam tugas
kepemimpinannya, seorang pemimpin harus jelas dengan misinya sehingga ia dapat
mengarahkan dan membawa pengikutnya berjalan bersamanya sampai pada penggenapan
misi itu. Banyak pemimpin memulai dengan misi yang jelas namun kemudian berubah
santai. Jika tidak ada lagi misi, sebaiknya pemimpin mengundurkan diri agar
Tuhan dapat memakai yang lain.
3. Adanya Kesiapan
Tuhan memilih
Musa setelah mempersiapkannya terlebih dahulu. Pada penggalan pertama hidupnya,
Musa digembleng ilmu kenegaraan dan peperangan di Mesir; pada penggalan kedua
hidupnya Musa mengalami bentukan karakter yakni kasih dan kesabaran. Pada
penggalan ketiga, barulah Tuhan memakai Musa. Seorang yang merasakan panggilan
menjadi pemimpin haruslah melihat tangan Tuhan yang telah mempersiapkannya. Dan
kita yang hendak memilih seorang pemimpin juga harus menilai kesiapan orang
tersebut. Pada dasarnya kesiapan terdiri dari dua unsur: Kemampuan dan
Karakter. Ada pemimpin yang memiliki kemampuan namun tidak memiliki karakter
yang dibutuhkan. Ia akan merusak orang yang dipimpinnya. Sebaliknya, ada orang
yang tidak memunyai kemampuan namun memunyai karakter yang mendukung. Ia akan
menimbulkan kekacauan.
4. Adanya Kesalehan
Apa pun itu yang
Musa lakukan, ia selalu mendasarinya atas Firman Tuhan. Sewaktu ia berhadapan
dengan Firaun, ia menyampaikan Firman Tuhan. Sewaktu ia harus berhadapan dengan
gejolak di tengah bangsanya, ia pun kembali kepada Firman Tuhan. Tidak heran
kita melihat sebuah “dwi-kepemimpinan” yaitu Tuhan dan Musa. Pemimpin yang
efektif berjalan di atas rel Firman Tuhan dan bergaul akrab dengan-Nya. Sewaktu
pemimpin mulai jauh dari Tuhan, ia akan makin sering memunculkan gagasan yang berasal
dari ambisi pribadi dan kehilangan sentuhan dengan kepentingan Tuhan. Ia makin
sulit menerima masukan dari pihak lain karena ambisi pribadilah yang lebih
berperan. Makin kita dekat dengan Tuhan, makin kita tidak menggenggam posisi
maupun pendapat pribadi.
5. Adanya Kasih dan Ketegasan
Berulang kali
Musa harus menghadapi pemberontakan bangsanya dan semua ia hadapi dengan kasih
dan ketegasan. Ia mengasihi Israel; itu sebabnya ia melarang Tuhan memusnahkan
bangsanya. Namun ia pun tegas kepada mereka yang bersalah; ia tidak ragu
menghukum orang yang bersalah. Pemimpin yang tidak mengasihi pengikutnya akan
terus memobilisasi mereka demi kepentingannya. Pemimpin yang mengasihi
pengikutnya memikirkan kepentingan mereka dan bersedia berkorban bagi mereka.
Sebaliknya, pemimpin yang tidak mengasihi justru terus meminta pengikutnya
untuk berkorban seolah-olah bagi kepentingan bersama namun sesungguhnya untuk
kepentingan pribadinya. Pemimpin juga mesti tegas; tanpa ketegasan ia akan
menuai kekacauan. Sekali pemimpin tidak tegas, pengikut akan mulai kehilangan
respek dan arah. Pada akhirnya pengikutnya akan berbuat sekehendak hati.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Kita semua harus menjalankan peran sebagai “generasi pembangun” dan bukan
bukan “generasi perusak” organisasi yang telah didirikan dengan susah-payah
oleh generasi terdahulu. Inilah pelajaran berharga dari Khidir: a) jaga
penampilan “perahu” (organisasi) agar selamat sampai di pelabuhan tujuan,b)
luruskan motivasi para “bocah nakal” (kader), dan c) bangun dinding yang mau
runtuh untuk selamatkan “warisan terpendam” (misi sejarah yang sering
terlupakan). Inilah pelajaran untuk seorang pemimpin yang akan membebaskan
rakyatnya
2.
Model Kepemimpinan Nabi Musa diantaranya
a. Adanya Panggilan Ilahi
b. Adanya Misi
c. Adanya Kesiapan
d. Adanya Kesalehan
e. Adanya Kasih dan Ketegasan
B. Kritik Dan Saran
Kami sangat
berharap bagi para pembaca yang budiman akan adanya kritik dan saran yang
besifat konstruktif. Demi kesempurnaan makalah yang akan datang.Dan jangan
hanya berhenti pada sumber yang sekiranya masih meragukan.
DAFTAR PUSTAKA
Coats,George W. The Moses
Tradition. JSOT Supplement Series 161 (Sheffield: JSOT Press, 1993), hlm 114
Kartono, Kartini .Pemimpin dan
Kepemimpinan (Jakarta: Rajawali Press, 1990)
Hutton, Rodney R., Charisma and Authority in
Israelite Society (Minneapolis: Fortress
Press, 1994.hlm 18
Nohrnberg, James, Like Unto Moses: The
Constituting of an Interpretation I ndiana
Studies in Biblical Literature (Bloomington: Indiana University Press,
1995), hlmn 135.
Exodus, W.H. Grispen, (Grand Rapids,
MI: Zondervan Publishing House, 1982).hlmn
41
Dr. Paul
Gunadihttp://www.telaga.org/berita_telaga/belajar_kepemimpinan_musa. Diakses pada 25/02/2018 pukul 20:14
WIBhttp://bachtiar.id/kepemimpinan-profetik-nabi-musa/diakses pada
25/02/2018 pukul 20:10 WIB
https://luthfyrizaldywahono.wordpress.com/2013/01/31/kepemimpinan-nabi- musa-dan-khidr/ diakses pada
25/02/2018 pukul 22.07 WIB.
[2] https://luthfyrizaldywahono.wordpress.com/2013/01/31/kepemimpinan-nabi-musa-dan-khidr/
diakses pada 25/02/2018 pukul 22.07 WIB.

Komentar