Ringkasan Fikih Puasa Ramadhan
MAKALAH
Ringkasan Fikih Puasa Ramadhan
Berikut ini adalah ringkasan fikih
puasa Ramadhan yang disarikan dari Mausu'ah Fiqhiyyah Duraris Saniyyah, kitab
Ash Shiyam. Semoga menjadi bekal untuk menjalani ibadah puasa Ramadhan
Makna puasa
Puasa dalam
bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum
(الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al
imsaak (الإمساك) yaitu menahan diri. Sedangkan secara istilah, ash
shiyaam artinya: beribadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari
makan, minum dan pembatal puasa lainnya, dari terbitnya fajar hingga
terbenamnya matahari.
Hukum puasa Ramadhan
Puasa
Ramadhan hukumnya wajib berdasarkan firman Allah Ta’ala:
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصّيَام كما كُتب على
الذين من قبلكم لعلّكم تتّقون
“wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kalian bertaqwa” (QS. Al Baqarah:
183).
Dan juga
karena puasa ramadhan adalah salah dari rukun Islam yang lima. Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
بُني الإِسلام على خمس: شهادة أن لا إِله إِلا الله
وأنّ محمّداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإِيتاء الزكاة، والحجّ، وصوم رمضان
“Islam
dibangun di atas lima rukun: syahadat laa ilaaha illallah muhammadur
rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, haji dan puasa Ramadhan”
(HR. Bukhari – Muslim).
Keutamaan puasa
- Puasa
adalah ibadah yang tidak ada tandingannya. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda kepada Abu Umamah Al Bahili:
عليك بالصيام فإنه لا مثل له
“hendaknya engkau berpuasa karena puasa itu ibadah
yang tidak ada tandingannya” (HR. Ahmad, An Nasa-i. Dishahihkan Al Albani
dalam Shahih An Nasa-i)
- Allah
Ta’ala menyandarkan puasa kepada diri-Nya.
قال الله عز وجل: كل عمل ابن آدم له
إلا الصوم، فإنه لي وأنا أجزي به
“Allah ‘azza wa jalla berfirman: setiap amalan
manusia itu bagi dirinya, kecuali puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang
akan membalas pahalanya” (HR. Bukhari – Muslim).
- Puasa
menggabungkan 3 jenis kesabaran: sabar dalam melakukan ketaatan kepada
Allah, sabar dalam menjauhi hal yang dilarang Allah dan sabar terhadap
takdir Allah atas rasa lapar dan kesulitan yang ia rasakan selama puasa.
- Puasa
akan memberikan syafaat di hari kiamat.
“Puasa dan
Al Qur’an, keduanya akan memberi syafaat kelak di hari kiamat” (HR. Ahmad,
Thabrani, Al Hakim. Al Haitsami mengatakan: “semua perawinya dijadikan hujjah
dalam Ash Shahih“).
- Orang
yang berpuasa akan diganjar dengan ampunan dan pahala yang besar.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ
وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ
وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ
وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ
وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ
اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا
عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”
(QS. Al Ahzab: 35)
- Puasa
adalah perisai dari api neraka.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“puasa
adalah perisai” (HR. Bukhari – Muslim)
- Puasa
adalah sebab masuk ke dalam surga
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
في الجنة ثمانية أبواب، فيها باب يسمى
الريان، لا يدخله إلا الصائمون
“di surga ada delapan pintu, diantaranya ada pintu
yang dinamakan Ar Rayyan. Tidak ada yang bisa memasukinya kecuali orang-orang
yang berpuasa” (HR. Bukhari).
Hikmah disyariatkannya puasa
- Puasa
adalah wasilah untuk mengokohkan ketaqwaan kepada Allah
- Puasa
membuat orang merasakan nikmat dari Allah Ta’ala
- Mendidik
manusia dalam mengendalikan keinginan dan sabar dalam menahan diri
- Puasa
menahan laju godaan setan
- Puasa
menimbulkan rasa iba dan sayang kepada kaum miskin
- Puasa
membersihkan badan dari elemen-elemen yang tidak baik dan membuat badan
sehat
Rukun puasa
- Menahan
diri dari hal-hal yang membatalkan puasa
- Menepati
rentang waktu puasa
Awal dan akhir bulan Ramadhan (bulan
puasa)
- Wajib
menentukan awal bulan Ramadhan dengan ru’yatul hilal, bila hilal
tidak terlihat maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Para ulama
ijma akan hal ini, tidak ada khilaf di antara mereka.
- Para ulama
mensyaratkan minimal satu orang yang melihat hilal untuk bisa
menetapkan terlihatnya hilal Ramadhan.
- Jika
ada seorang yang mengaku melihat hilal Ramadhan sendirian, ulama
khilaf. Jumhur ulama mengatakan ia wajib berpuasa sendirian berdasarkan
ru’yah-nya. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Al Utsaimin. Sebagian ulama
berpendapat ia wajib berpuasa bersama jama’ah kaum Muslimin.
Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Baz.
- Rukyah
hilal suatu negeri berlaku untuk seluruh negeri yang lain (ittifaqul
mathali’), ataukah setiap negeri mengikuti rukyah hilal masing-masing
di negerinya (ikhtilaful mathali’)? Para ulama khilaf dalam masalah
ini. Jumhur ulama berpendapat rukyah hilal suatu negeri berlaku untuk
seluruh negeri yang lain. Adapun Syafi’iyyah dan pendapat sebagian
salaf, setiap negeri mengikuti rukyah hilal masing-masing. Pendapat
kedua ini dikuatkan oleh Ash Shanani dan juga Ibnu Utsaimin.
- Wajib menentukan
akhir bulan Ramadhan dengan ru’yatul hilal, bila hilal tidak terlihat
maka bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari. Para ulama ijma akan
hal ini, tidak ada khilaf di antara mereka.
- Jumhur
ulama mensyaratkan minimal dua orang yang melihat hilal untuk bisa
menetapkan terlihatnya hilal Syawal.
- Jika
ada seorang yang mengaku melihat hilal Syawal sendirian, maka ia wajib
berbuka bersama jama’ah kaum Muslimin.
- Jika hilal
Syawal terlihat pada siang hari, maka kaum Muslimin ketika itu juga
berbuka dan shalat Id, jika terjadi sebelum zawal (bergesernya mata
hari dari garis tegak lurus).
Rentang waktu puasa
Puasa
dimulai ketika sudah terbit fajar shadiq atau fajar yang kedua. Allah Ta’ala
berfirman:
فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar” (QS. Al Baqarah: 187).
Yang
dimaksud dengan khaythul abyadh di sini adalah fajar shadiq atau
fajar kedua karena berwarna putih dan melintang di ufuk seperti benang. Adapun fajar
kadzib atau fajar pertama itu bentuknya seperti dzanabus sirhan
(ekor serigala). Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الفجر فجران: فأما الفجر الذي يكون كذنب السرحان فلا يحل
الصلاة ولا يحرم الطعام، وأما الفجر الذي يذهب مستطيلا في الأفق فإنه يحل الصلاة و
يحرم الطعام
“Fajar
itu ada dua: pertama, fajar yang bentuknya seperti ekor serigala, maka ini
tidak menghalalkan shalat (shubuh) dan tidak mengharamkan makan. Kedua, fajar
yang memanjang di ufuk, ia menghalalkan shalat (shubuh) dan mengharamkan makan
(mulai puasa)” (HR. Al Hakim, Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Shahih
Al Jami’).
Puasa
berakhir ketika terbenam matahari. Allah Ta’ala berfirman:
“lalu sempurnakanlah puasa hingga malam”
(QS. Al Baqarah: 187).
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
“jika datang malam dari sini, dan telah
pergi siang dari sini, dan terbenam matahari, maka orang yang berpuasa boleh
berbuka” (HR. Bukhari – Muslim).
Syarat sah puasa
- Islam
- Baligh
- Berakal
- Muqim
(tidak sedang safar)
- Suci
dari haid dan nifas
- Mampu
berpuasa
- Niat
Sunnah-sunnah ketika puasa
- Sunnah-sunnah
terkait berbuka puasa
- Disunnahkan
menyegerakan berbuka
- Berbuka
puasa dengan beberapa butir ruthab (kurma segar), jika
tidak ada maka denganbeberapa butir tamr (kurma kering), jika
tidak ada maka dengan beberapa teguk air putih
- Berdoa
ketika berbuka dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر
إن شاء الله
/dzahabazh zhomaa-u wabtallatil ‘uruuqu wa tsabatal
ajru insyaa Allah/
“telah hilang rasa haus, telah basah tenggorokan, dan telah diraih pahala, insya Allah” (HR. Abu Daud, An Nasa-i, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
“telah hilang rasa haus, telah basah tenggorokan, dan telah diraih pahala, insya Allah” (HR. Abu Daud, An Nasa-i, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
- Sunnah-sunnah
terkait makan sahur
- Makan
sahur hukumnya sunnah muakkadah. Dianggap sudah makan sahur jika makan
atau minum di waktu sahar, walaupun hanya sedikit. Dan di dalam
makanan sahur itu terdapat keberkahan
- Disunnahkan mengakhirkan
makan sahur mendekati waktu terbitnya fajar, pada waktu yang tidak
dikhawatirkan datangnya waktu fajar ketika masih makan sahur.
- Disunnahkan
makan sahur dengan tamr (kurma kering).
- Orang
yang berpuasa wajib meninggalkan semua perbuatan yang diharamkan agama dan
dianjurkan untuk memperbanyak melakukan ketaatan seperti: bersedekah,
membaca Al Qur’an, shalat sunnah, berdzikir, membantu orang lain, i’tikaf,
menuntut ilmu agama, dll
- Membaca
Al Qur’an adalah amalan yang lebih dianjurkan untuk diperbanyak di bulan
Ramadhan. Bahkan sebagian salaf tidak mengajarkan ilmu di bulan
Ramadhan agar bisa fokus memperbanyak membaca Al Qur’an dan
mentadabburinya.
Orang-orang yang dibolehkan tidak berpuasa
- Orang
sakit yang bisa membahayakan dirinya jika berpuasa.
- Jumhur
ulama mengatakan bahwa orang sakit yang boleh meninggalkan puasa adalah
yang jika berpuasa itu dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan serius
pada kesehatannya.
- Adapun
orang yang sakit ringan yang jika berpuasa tidak ada pengaruhnya sama
sekali atau pengaruhnya kecil, seperti pilek, sakit kepala, maka
ulama empat madzhab sepakat orang yang demikian wajib tetap berpuasa dan
tidak boleh meninggalkan puasa.
- Terkait
adanya kewajiban qadha atau tidak, orang sakit dibagi menjadi 2 macam:
- Orang
yang sakitnya diperkirakan masih bisa sembuh, maka wajib meng-qadha
ketika sudah mampu untuk menjalankan puasa. Ulama ijma akan hal ini.
- Orang
yang sakitnya diperkirakan tidak bisa sembuh, maka membayar fidyah
kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan.
Diqiyaskan dengan keadaan orang yang sudah tua renta tidak mampu lagi
berpuasa. Ini disepakati oleh madzhab fikih yang empat.
- Musafir.
- Orang
yang bersafar boleh meninggalkan puasa Ramadhan, baik perjalanannya sulit
dan berat jika dilakukan dengan berpuasa, maupun perjalanannya ringan dan
tidak berat jika dilakukan dengan berpuasa.
- Namun
jika orang yang bersafar itu berniat bermukim di tempat tujuan safarnya
lebih dari 4 hari, maka tidak boleh meninggalkan puasa sejak ia sampai di
tempat tujuannya.
- Para
ulama khilaf mengenai musafir yang perjalanannya ringan dan tidak
berat jika dilakukan dengan berpuasa, semisal menggunakan pesawat atau
kendaraan yang sangat nyaman, apakah lebih utama berpuasa ataukah tidak
berpuasa. Yang lebih kuat, dan ini adalah pendapat jumhur
ulama, lebih utama tetap berpuasa.
- Orang
yang hampir selalu bersafar setiap hari, seperti pilot, supir bus, supir
truk, masinis, dan semacamnya, dibolehkan untuk tidak berpuasa selama
bersafar, selama itu memiliki tempat tinggal untuk pulang dan menetap.
Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al Utsaimin.
- Orang
yang sudah tua renta
- Orang
yang sudah tua renta dan tidak lagi mampu untuk berpuasa dibolehkan untuk
tidak berpuasa Ramadhan. Ulama ijma akan hal ini.
- Wajib
bagi mereka untuk membayar fidyah kepada satu orang miskin
untuk setiap hari yang ditinggalkan.
- Wanita
hamil dan menyusui
- Wanita
hamil atau sedang menyusui boleh meninggalkan puasa Ramadhan, baik karena
ia khawatir terhadap kesehatan dirinya maupun khawatir terhadap kesehatan
si bayi.
- Ulama
berbeda pendapat mengenai apa kewajiban wanita hamil dan menyusui ketika
meninggalkan puasa.
- Sebagian
ulama berpendapat bagi mereka cukup membayar fidyah tanpa qadha, ini
dikuatkan oleh Syaikh Al Albani.
- Sebagian
ulama berpendapat bagi mereka cukup meng-qadha tanpa fidyah, ini
dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Al Utsaimin, Syaikh Shalih
Al Fauzan, Al Lajnah Ad Daimah, juga pendapat Hanafiyah dan Malikiyah.
- Sebagian
ulama madzhab juga berpendapat bagi mereka qadha dan fidyah jika
meninggalkan puasa karena khawatir akan kesehatan si bayi.
- Yang
lebih rajih –insya Allah– adalah pendapat kedua, bagi mereka wajib
qadha saja tanpa fidyah.
- Orang yang
memiliki sebab-sebab yang membolehkan tidak berpuasa, diantaranya:
- Orang yang pekerjaannya terasa
berat. Orang yang demikian tetap wajib meniatkan diri berpuasa dan wajib
berpuasa. Namun ketika tengah hari bekerja lalu terasa sangat berat
hingga dikhawatirkan dapat membahayakan dirinya, boleh membatalkan puasa
ketika itu, dan wajib meng-qadha-nya di luar Ramadhan.
- Orang yang sangat kelaparan
dan kehausan sehingga bisa membuatnya binasa. Orang yang demikian wajib
berbuka dan meng-qadha-nya di hari lain.
- Orang yang dipaksa untuk
berbuka atau dimasukan makanan dan minuman secara paksa ke
mulutnya. Orang yang demikian boleh berbuka dan
meng-qadha-nya di hari lain dan ia tidak berdosa karenanya.
- Mujahid fi sabilillah yang
sedang berperang di medan perang. Dibolehkan bagi mereka untuk
meninggalkan berpuasa. Berdasarkan hadits:
إنكم قد دنوتم من عدوكم، والفطر أقوى
لكم، فكانت رخصة
“sesungguhnya musuh kalian telah mendekati kalian,
maka berbuka itu lebih menguatkan kalian, dan hal itu merupakan rukhshah”
(HR. Muslim).
Pembatal-pembatal puasa
- Makan
dan minum dengan sengaja
- Keluar
mani dengan sengaja
- Muntah
dengan sengaja
- Keluarnya
darah haid dan nifas
- Menjadi
gila atau pingsan
- Riddah
(murtad)
- Berniat
untuk berbuka
- Merokok
- Jima
(bersenggama) di tengah hari puasa. Selain membatalkan puasa dan wajib
meng-qadha puasa, juga diwajibkan menunaikan kafarah membebaskan seorang
budak, jika tidak ada maka puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak
mampu maka memberi makan 60 orang miskin.
- Hijamah
(bekam) diperselisihkan apakah dapat membatalkan puasa atau tidak.
Pendapat jumhur ulama, hijamah tidak membatalkan puasa. Sedangkan pendapat
Hanabilah bekam dapat membatalkan puasa. Pendapat kedua ini dikuatkan
oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz dan Ibnu Al Utsaimin.
- Masalah
donor darah merupakan turunan dari masalah bekam. Maka donor darah tidak
membatalkan puasa dengan men-takhrij pendapat jumhur ulama,
dan bisa membatalkan puasa dengan men-takhrij pendapat Hanabilah.
- Inhaler
dan sejenisnya berupa aroma yang dimasukan melalui hidung,
diperselisihkan apakah dapat membatalkan puasa atau tidak. Pendapat
jumhur ulama ia dapat membatalkan puasa, sedangkan sebagian ulama
Syafi’iyyah dan Malikiyyah mengatakan tidak membatalkan. Pendapat kedua
ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah.
Yang bukan merupakan pembatal puasa
sehingga dibolehkan melakukannya
- Mengakhirkan
mandi hingga terbit fajar, bagi orang yang junub atau wanita yang sudah
bersih dari haid dan nifas. Puasanya tetap sah.
- Berkumur-kumur
dan istinsyaq (menghirup air ke hidung)
- Mandi di
tengah hari puasa atau mendinginkan diri dengan air
- Menyicipi
makanan ketika ada kebutuhan, selama tidak masuk ke kerongkongan
- Bercumbu
dan mencium istri, bagi orang yang mampu mengendalikan birahinya
- Memakai
parfum dan wangi-wangian
- Menggunakan
siwak atau sikat gigi
- Menggunakan
celak
- Menggunakan
tetes mata
- Menggunakan
tetes telinga
- Makan
dan minum 5 menit sebelum terbit fajar yang ditandai dengan adzan shubuh,
yang biasanya disebut dengan waktu imsak. Karena batas awal rentang
waktu puasa adalah ketika terbit fajar yang ditandai dengan
adzan shubuh.
Yang dimakruhkan ketika puasa
- Terlalu
dalam dan berlebihan dalam berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke
hidung)
- Puasa wishal,
yaitu menyambung puasa selama dua hari tanpa diselingi makan atau minum sama
sekali.
- Menyicipi
makanan tanpa ada kebutuhan, walaupun tidak masuk ke kerongkongan
- Bercumbu
dan mencium istri, bagi orang yang tidak mampu
mengendalikan birahinya
- Bermalas-malasan
dan terlalu banyak tidur tanpa ada kebutuhan
- Berlebihan
dan menghabiskan waktu dalam perkara mubah yang tidak bermanfaat
Beberapa kesalah-pahaman dalam ibadah puasa
- Niat
puasa tidak perlu dilafalkan, karena niat adalah amalan hati. Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam juga tidak pernah mengajarkan lafal niat puasa. Menetapkan
itikad di dalam hati bahwa esok hari akan berpuasa, ini sudah niat yang
sah.
- Berpuasa
namun tidak melaksanakan shalat fardhu adalah kesalahan fatal. Diantara
juga perilaku sebagian orang yang makan sahur untuk berpuasa namun tidak
bangun shalat shubuh. Karena dinukil bahwa para sahabat berijma tentang
kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, sehingga tidak ada
faedahnya jika ia berpuasa jika statusnya kafir. Sebagian ulama berpendapat
orang yang meninggalkan shalat tidak sampai kafir namun termasuk dosa
besar, yang juga bisa membatalkan pahala puasa.
- Berbohong
tidak membatalkan puasa, namun bisa jadi membatalkan atau mengurangi
pahala puasa karena berbohong adalah perbuatan maksiat.
- Sebagian
orang menahan diri melakukan perbuatan maksiat hingga datang waktu berbuka
puasa. Padahal perbuatan maksiat tidak hanya terlarang dilakukan ketika
berpuasa, bahkan terlarang juga setelah berbuka puasa dan juga terlarang
dilakukan di luar bulan Ramadhan. Namun jika dilakukan ketika berpuasa
selain berdosa juga dapat membatalkan pahala puasa walaupun tidak
membatalkan puasanya.
- Hadits
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah” adalah hadits yang
lemah. tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah.
Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah
jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur
karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk
mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah. Sebaliknya, tidak
setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur
karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu
tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela.
Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan
baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.
- Tidak
ada hadits “berbukalah dengan yang manis“. Pernyataan yang tersebar
di tengah masyarakat dengan bunyi demikian, bukanlah hadits Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam.
- Tidak
tepat mendahulukan berbuka dengan makanan manis ketika tidak ada kurma.
Lebih salah lagi jika mendahulukan makanan manis padahal ada kurma. Yang
sesuai sunnah Nabi adalah mendahulukan berbuka dengan kurma, jika tidak
ada kurma maka dengan air minum. Adapun makanan manis sebagai tambahan
saja, sehingga tetap didapatkan faidah makanan manis yaitu menguatkan
fisik.
Wallahu
ta’ala a’lam.
Komentar