MAKALAH PERNIKAHAN DALAM ISLAM
PENDAHULUAN


Pernikahan dalam pandangan Islam
adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti
Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan
mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1,
perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana
difirmankan Allah s.w.t. dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya
di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi
orang-orang yang berfikir”. Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang
diberikan kepada manusia, ketika manusia melakukan pernikahan.
Pernikahan merupakan
sunah nabi Muhammad saw. Sunnah diartikan secara singkat adalah, mencontoh
tindak laku nabi Muhammad saw. Perkawinan diisyaratkan supaya manusia mempunyai
keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat,
di bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah SWT, dan hal ini telah
diisyaratkan dari sejak dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan di dalam
al-Qur’an:
Dan kawinkanlah
orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. an-Nuur ayat 32).
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Dasar Hukum Nikah.
Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu
( النكاح ), adapula yang mengatakan perkawinan
menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj.
Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali
dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya
perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik akar katanya saja. Perkawinan adalah ;
عبارة عن العقد المشهور
المشتمل على الأركان والشروط
Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum atas
rukun-rukun dan syarat-syarat.
Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan
Hanbali) pada umumnya mereka mendefinisikan perkawinan pada :
عقد يتضمن ملك
وطء بلفظ انكاح أو تزويج أو معناهما
Akad yang membawa
kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang
perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang
serupa dengan kedua kata tersebut.
Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa
perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dari beberapa terminologi yang telah dikemukakan nampak jelas sekali
terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi. Hal ini dilukiskan dalam Firman
Allah
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS.Ar-Rum
ayat 21)
B.
Rukun Nikah
1.
WALI
Berdasarkan sabda Rasulullah
Sallallahu `Alaihi Wasallam:
ايُّمَا
امْرَأةِ نُكِحَتْ بِغَيْرِ اذِنِ وَلِيْهَا، فَنِكَحُهَا بَاطِلٌ. بَاطِلٌ
Artinya : “
Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal… batal..
batal.” (HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
2. SAKSI
Rasulullah sallallahu `Alaihi
Wasallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ
الاَّ بِوَلِي وَ شَاهِدَيْ عَدْلِ
Artinya :
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”(HR Al-Baihaqi
dan Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam Nailul Athaar berkata : “Hadist di
kuatkandengan hadits-hadits lain.”)
3. AKAD NIKAH
Akad nikah
adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan
pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah
penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak
kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya
nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab
Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah
penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya
anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Dalam aqad nikah ada beberapa
syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
1. Adanya suka sama suka
dari kedua calon mempelai.
2. Adanya Ijab Qabul.
3. Adanya Mahar.
4. Adanya Wali.
5. Adanya Saksi-saksi.
Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat
hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Kedua belah pihak sudah
tamyiz.
2. Ijab qobulnya dalam satu
majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qobul tidak boleh diselingi dengan kata-kata
lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa
ijab qobul.
Di dalam
ijab qobul haruslah dipergunakan kata-kata yang dipahami oleh masing-masing
pihak yang melakukan aqad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari
kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata kasar. Dan
menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang
dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
Syeikh Abu
Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul Muslim. “Ucapan
ketika akad nikah seperti: Mempelai lelaki : “Nikahkanlah aku dengan putrimu
yang bernama Fulaanah.” Wali wanita : “Aku nikahkan kamu dengan putriku yang
bernama Fulaanah.” Mempelai lelaki : “Aku terima nikah putrimu.”
4.
MAHAR (MAS KAWIN)
Mahar adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang
wanita. Mahar juga merupakan pemberian
seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang selanjutnya akan
menjadi hak milik istri secara penuh. Kita bebas menentukan bentuk dan jumlah mahar yang kita inginkan karena
tidak ada batasan mahar dalam syari’at Islam, tetapi yang disunnahkan adalah mahar itu disesuaikan dengan kemampuan pihak
calon suami. Namun Islam menganjurkan agar
meringankan mahar. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik mahar adalah mahar
yang paling mudah (ringan).”(H.R. Al-Hakim: 2692)
C. Khitbah
( peminangan )
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk
menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak
dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu
diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ
يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang
meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu
menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR.
Al-Bukhari no. 5144)

Ketika wali si wanita didatangi oleh
lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di
bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:
1. Memilihkan
suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian
dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia
menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
فَسَادٌ عَرِيْضٌ إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ
وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَ
“Apabila
datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang
tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan
terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084,
dihasankan Al- Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868,
Ash-Shahihah no. 1022)
2. Meminta
pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena
biasanya ia malu.
D. Hukum
Menikah
Adapun hukum menikah, dalam
pernikahan berlaku hukum taklifi yang lima yaitu :
1.
Wajib bagi orang yang sudah mampu nikah,sedangkan nafsunya telah
mendesak untuk melakukan persetubuhan yang dikhawatirkan akan terjerumus dalam
praktek perzinahan.
2.
Haram bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah lahir dan
batin kepada calon istrinya,sedangkan nafsunya belum mendesak.
3.
Sunnah bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mempunyai kemampuan
untuk nikah,tetapi ia masih dapat menahan diri dari berbuat haram.
4.
Makruh bagi orang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu member belanja
calon istrinya.
5. Mubah bagi orang
tidak terdesak oleh alas an-alasan yang mewajibkan segera nikah atau karena
alas an-alasan yang mengharamkan untuk nikah.
E.
Anjuran Islam
Islam telah menganjurkan
kepada manusia untuk menikah. Dan ada banyak hikmah di balik anjuran tersebut.
Antara lain adalah :
1.
Sunnah Para Nabi dan Rasul
وَلَقَدْ
أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ لِكُلِّ
أَجَلٍ كِتَابٌ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi
seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah. Bagi
tiap-tiap masa ada Kitab. (QS. Ar-Ra'd : 38).
Dari Abi Ayyub ra bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Empat hal yang merupakan sunnah para rasul : [1] Hinna',1 [2] berparfum, [3] siwak dan [4] menikah.
(HR. At-Tirmizi 1080)
2.
Bagian Dari Tanda Kekuasan Allah
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar-Ruum : 21)
3.
Salah Satu Jalan Untuk Menjadi Kaya
وَأَنكِحُوا
الأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا
فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah
Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur
: 32)
4.
Ibadah Dan Setengah Dari Agama
Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang
yang diberi rizki oleh Allah SWT seorang istri shalihah berarti telah dibantu
oleh Allah SWT pada separuh agamanya. Maka dia tinggal menyempurnakan separuh sisanya. (HR. Thabarani dan
Al-Hakim 2/161).
5.
Tidak Ada Pembujangan Dalam Islam
Islam
berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual untuk dilepaskan
tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh
yang membawa kepada perbuatan zina.
Tetapi di
balik itu Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan
gharizah ini. Untuk itu maka dianjurkannya supaya kawin dan melarang hidup
membujang dan kebiri.
Seorang muslim tidak halal menentang
perkawinan dengan anggapan, bahwa hidup membujang itu demi berbakti kepada
Allah, padahal dia mampu kawin; atau dengan alasan supaya dapat seratus persen
mencurahkan hidupnya untuk beribadah dan memutuskan hubungan dengan duniawinya.
Abu Qilabah mengatakan
"Beberapa orang sahabat Nabi bermaksud akan menjauhkan diri dari duniawi
dan meninggalkan perempuan (tidak kawin dan tidak menggaulinya) serta akan
hidup membujang. Maka berkata Rasulullah s.a.w,
dengan nada marah lantas ia berkata:
'Sesungguhnya orang-orang sebelum
kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat terhadap diri-diri mereka,
oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu akan tinggal di gereja dan
kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia, berhajilah,
berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan meluruskan kepadamu.
Kemudian turunlah ayat:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُحَرِّمُواْ طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللّهُ لَكُمْ وَلاَ
تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu
mengharamkan yang baik-baik dari apa yang dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan
kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang
yang melewati batas. (QS.
Al-Maidah: 87)
6.
Menikah Itu Ciri Khas Makhluk Hidup
Selain itu
secara filosofis, menikah atau berpasangan itu adalah merupakan ciri dari makhluq
hidup. Allah SWT telah menegaskan bahwa makhluq-makhluq ciptaan-Nya ini
diciptakan dalam bentuk berpasangan satu sama lain.
وَمِن كُلِّ
شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
kebesaran Allah.(QS. Az-Zariyat : 49)
F.
Tujuan Nikah
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan
syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun
hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini:
1. Melaksanakan
anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ...
“Wahai
sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah
maka hendaknya ia menikah….”
2.
Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah
kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti)
aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”
3.
Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya,
menundukkan pandangannya dan pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah
mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka,
yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka
perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka
menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.”
(An-Nur: 30-31)
G. Hikmah Pernikahan
1. Untuk menjaga
kesinambungan generasi manusia.
2. Menjaga kehormatan
dengan cara menyalurkan kebutuhan biologis secara syar'i.
3. Kerja sama suami-istri
dalam mendidik dan merawat anak.
4.
Mengatur rumah tangga dalam kerjasama yang produktif dengan memperhatikan hak dan
kewajiban.
H. Pemikiran Tentang Pencatatan Perkawinan di Indonesia.
Undang-undang RI tentang
Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan
diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan.
Menurut UU Perkawinan,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).
Mengenai sahnya perkawinan dan
pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu;
2.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini terus terjadi karena
perkawinan menurut agama dan kepercayaannya sudah dianggap sah, banyak pasangan
suami istri tidak mencatatkan perkawinannya. Alasan yang paling umum adalah
biaya yang mahal dan prosedur berbelit-belit. Alasan lain, sengaja untuk
menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari
atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan
ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah perkawinan bawah
tangan atau nikah sirri.
Secara garis besar, perkawinan
yang tidak dicatat di negara Indonesia ini sama saja dengan membiarkan adanya
hidup bersama dengan status hukum yang tidak tetap, dan ini sangat merugikan
para pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada
anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup
bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, memiliki akibat hukum dengan
dijadikannya satus anak tersebut sama dengan anak yang lahir dari perkawinan
diluar nikah, sehingga anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan
ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan
perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak.
Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk
mencatatkan perkawinan. Dalam artian, jika kita tidak mencatatkan perkawinan,
bukan berarti kita melakukan suatu kejahatan. Namun jelas pula bahwa hal ini
memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya merugikan
perempuan dan anak-anak. Kemudian, ketika seseorang tidak dapat membuktikan
terjadinya perkawinan dengan akta nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat
nikah (penetapan atau pengesahan nikah) kepada pengadilan agama.
I. Nikah Siri

1. Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia
(siri), dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju atau karena menganggap
absah pernikahan tanpa wali atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat
belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
2. Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga
pencatatan negara.

1. Nikah sirri dilakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh orang tua
kedua pihak atau salah satu pihak. Misalnya orang tua kedua pihak atau salah
satu pihak berniat menjodohkan anaknya dengan calon pilihan mereka. Orang
tuanya menikahkan siri dengan tujuan untuk mengikat dulu supaya tidak diambil
oleh orang lain.
2. Nikah sirri dilakukan karena adanya hubungan terlarang, misalnya salah satu
atau kedua pihak sebelumnya pernah menikah secara resmi dan telah mempunyai
istri atau suami yang resmi, tetapi ingin menikah lagi dengan orang lain.
3. Nikah sirri dilakukan dengan dalih menghindari dosa karena zina.
Kekhawatiran karena hubungannya yang semakin hari semakin dekat, menimbulkan
kekhawatiran akan terjadinya perbuatan yang melanggar syariah. Pernikahan siri
dianggap sebagai jalan keluar yang mampu menghalalkan gejolak cinta sekaligus
menghilangkan kekhawatiran terjadinya zina.
4. Nikah sirri dilakukan karena pasangan merasa belum siap secara materi dan
secara sosial. Hal ini biasa dilakukan oleh para mahasiswa, disamping karena
khawatir terjadi zina, mereka masih kuliah, belum punya persiapan jika harus
terbebani masalah rumah tangga. Status pernikahanpun masih disembunyikan supaya
tidak menghambat pergaulan dan aktivitas dengan teman-teman di kampus.
5. Nikah sirri dilakukan karena pasangan memang tidak tahu dan tidak mau tahu
prosedur hukum. Hal ini bisa terjadi pada suatu masyarakat wilayah desa
terpencil yang jarang bersentuhan dengan dunia luar. Lain lagi dengan komunitas
jamaah tertentu misalnya, yang menganggap bahwa kyai atau pemimpin jamaah adalah rujukan utama
dalam semua permasalahan termasuk urusan pernikahan. Asal sudah dinikahkan oleh
kyainya, pernikahan sudah sah secara Islam dan tidak perlu dicatatkan, juga
nikah sirri dilakukan untuk menghindari beban biaya dan prosedur administrasi
yang berbelit-belit.
6. Nikah sirri dilakukan hanya untuk penjajagan dan menghalalkan hubungan
badan saja. Bila setelah menikah ternyata tidak ada kecocokan maka akan mudah
menceraikannya tanpa harus melewati prosedur yang berbelit-belit di
persidangan. Dilihat dari tujuannya, hal ini sangat merendahkan posisi
perempuan yang dijadikan objek semata, tanpa ada penghargaan terhadap lembaga
pernikahan baik secara islam maupun secara hukum.
Di Indonesia telah terjadi
pembaharuan hukum di bidang hukum keluarga, dengan disahkannya Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU ini, perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan
pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu;
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Mengenai pencatatan
perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang
pencatatan perkawinan. “Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama
Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari
mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar
hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975” dengan dicatat di kantor catatan
sipil.
Namun yang terjadi di lapangan
adalah, terjadi dikotomi antara apa yang dipahami sebagai syarat sah perkawinan
menurut kelompok tradisional dengan kelompok modern. Kali ini, fenomena itu
dipicu dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengesahkan
pernikahan di bawah tangan. Pengesahan ini dihasilkan dari forum ijtima
yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara
tersebut digelar beberapa waktu lalu di kompleks pondok modern Darussalam
Gontor, Pacitan, Jawa Timur” Pembahasan mengenai pernikahan di bawah tangan ini
menghasilkan dua jawaban
1. Peserta ijtima’ ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara
resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah prefentif untuk menolak dampak
negatif atau mudharat.
2. Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat
dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat mudharat.
Dua jawaban di atas
menunjukkan ketidak tegasan MUI dalam menanggapi masalah nikah di bawah tangan
tersebut. Hal tersebut berbeda dengan pemikiran modern yang terus berjuang
untuk melaksanakan pencatatan nikah sebagai bagian dari rukun nikah sehingga
tidak terdapat kemudharatan dan dapat dijadikan sebagai alat perlindungan
terhadap wanita. Menurut Muhammad Quraish Shihab setiap perkawinan yang
dilakukan di Indonesia harus dicatatkan kepada pemerintah untuk memperoleh
status hukum yang pasti.[10][6]
Sebagai contoh bahayanya nikah tidak dicatat adalah, seseorang akan
mengalami kegagalan untuk mendapatkan kepastian hukum, hanya karena tidak dapat
menunjukkan bukti yang otentik tentang identitas pribadi seseorang. Misalnya
dalam keluarga, akta perkawinan mempunyai aspek hukum untuk digunakan sebagai
bukti jika dalam keluarga terjadi peristiwa kematian. Misalnya seorang suami meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang isteri
dan tiga orang anak, yang akan tampil secara bersama-sama sebagai ahli waris
dari si suami (yang meninggal).
Bagaimana caranya untuk
membuktikan bahwa ahli waris tersebut adalah isteri yang sah dari suaminya yang
telah meninggal dunia. Demikian pula bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa
ketiga anak tersebut benar-benar anak kandung yang sah (nasabnya kepada orang
tuanya). Dalam hal ini, tidak akan timbul kesulitan apabila telah memiliki
bukti otentik berupa akta perkawinan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.
Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa dengan akta perkawinan, maka isteri
yang ditinggalkan oleh suaminya mempunyai suatu pegangan (alat bukti) yang
menunjukkan bahwa dia benar-benar sebagai janda dari si suami yang telah
meninggal dunia.
Berdasarkan pemaparan
di atas maka jelaslah bahwa aspek hukum dari pencatatan nikah adalah untuk
memperoleh suatu kepastian hukum dalam hal perkawinan dan nasab anak. Segala
peristiwa itu dicatat, karena sebagai sumber adanya kepastian perkawinan di
bawah tangan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya pada saat terjadinya
koflik dan pertengkaran yang berujung dengan perceraian walau perceraian tersebut
itu pun di bawah tangan juga.
J.
Putusan MUI Tentang Nikah di Bawah Tangan.
Kewenangan MUI dalam berfatwa adalah tentang :
1. Masalah-masalah
keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara
nasional; dan
2. Masalah-masalah
keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain. (pasal 10).
Adapun tentang nikah di bawah
tangan dijelaskan di dalam diskripsi masalahnya bahwa nikah di bawah tangan
yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan
syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan
resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Perkawinan seperti itu
dipandang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan seringkali
menimbulkan dampak negatif (mudharat) terhadap istri dan atau anak yang
dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain
sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa akan
sulit dipenuhi akibat tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.
Komisi fatwa MUI sengaja
memakai istilah pernikahan di bawah tangan. Selain untuk membedakan dengan
pernikahan siri yang sudah dikenal di masyarakat. Istilah ini lebih sesuai
dengan ketentuan agama Islam. Nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa
ini adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan
dalam fiqh (hukum Islam). Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di
instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
Oleh karenanya, peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus
dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah prefentif
untuk menolak dampak negatif atau al-mudharat (saddan li adz-dzari’ah).
Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah
terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat sesuatu yang
mudharat.[13][13]
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada
awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw
maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan
sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui
warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya diumumkan kepada
khalayak luas, antara lain melalui walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ
بِالْغِرْبَالِ(رواه ابن ماجة عن عائشة)
Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana (HR.
Ibnu Majah dari 'Aisyah).
أَوْلِمْ
وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ)
Adakanlah walimah (perhelatan)
meskipun hanya dengan memotong seekor kambing (HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman
bin 'Auf).
Apabila terjadi
perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup
dengan alat bukti persaksian.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena
perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa
negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur
perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan
perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi
pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya
perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan,
dan lain-lain.
Melalui pencatatan
perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di
antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang
lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya
masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik
atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk
institusi perkawinan dengan dibuatnya undang-undang atau peraturan lainnya,
adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang
salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan
kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
لاَ
يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ
Tidak
diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.
Ibnu al-Qayyim menyatakan:
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى
وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ
وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ
Perubahan
fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat
dan adat istiadat
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. (Al-Baqarah ayat 282)
Akad nikah bukanlah muamalah biasa, akan tetapi perjanjian yang sangat kuat,
seperti disebutkan dalam al-Qur'an :
Bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan
yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil
dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.An-Nisa ayat 2)
Apabila akad hutang piutang atau
hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu
luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Dengan demikian
mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang
besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur
secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan
oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan
merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar
kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam,
sebagaimana disebutkan dalam kaidah:
تَصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ
الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَة
Suatu
tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan
rakyatnya.
K.
Hak istri atas suami (yaitu hak istri yang harus dipenuhi oleh suami)
1) Terkait kebendaan
Salah satunya adalah
memberikan mahar. Karena mahar merupakan keadilan dan keagungan bagi para
wanita. Harta suami adalah harta istri, harta istri adalah miliknya sendiri.
“Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian yang wajib, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS An Nisa 4)
Kedua adalah memberikan
belanja (nafkah)
Memenuhi kebutuhan makan,
tempat tinggal, pakaian, pengobatan. Dan kadar nafkah yang harus diberikan
kepada istri janganlah berlebihan. Berikan secara wajar.
“…dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS Al
Baqarah 233)
2) Hak bukan kebendaan (rohaniyah)
ü Pertama, mendapatkan pergaulan secara baik dan patut.
“…pergaulilah
mereka (istri-istrimu) secara baik. Kamu tidak menyukai mereka (bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.” (QS An Nisa 19)
ü Kedua,Jangan sampai perbuatan dan perkataan suami menyakiti hati istrinya.
Tahu sendiri kan hati wanita itu seperti apa? Banyak ditemukan suami yang
menghardik istrinya karena tak bisa melampiaskan kekesalan yang ada dalam
hatinya.
ü Ketiga, mendapatkan perlindungan dari segala sesuatu yang mungkin
melibatkannya pada suatu perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh kesulitan
dan mara bahaya. Maka, jika dia adalah suami yang baik, dia tak akan pernah
menjual istrinya ke rumah-rumah bordil atau tampil seksi di depan umum hanya
untuk mendapatkan sesuap nasi. Hal itu bukanlah pernikahan. Jika terjadi
seperti itu, gugat cerailah, karena pernikahan seperti itu tak akan
mendatangkan manfaat.
ü Keempat, mendapatkan rasa tenang, kasih sayang, dan rasa cinta dari
suaminya.
ü Kelima, mendapatkan pengajaran ilmu syariat dan akhlak. Kalau ada istri
yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik sebagai maka suami TIDAK BOLEH
melarangnya untuk menghadiri majelis ilmu selama suami belum bisa memenuhi
kebutuhan tersebut.
ü Keenam, berlaku adil ketika melakukan poligami. Tenang, nggak semua pria
ingin melakukan poligami kok. Jadi jangan anti dengan kata yang satu ini.
L.
Hak suami atas istri (Yaitu kewajiban yang HARUS dipenuhi istri kepada
suaminya)
Hak suami yang wajib dipenuhi istri
adalah hak yang sifatnya bukan benda, karena istri seharusnya tak dibebani
kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup dalam
rumah tangga. Bahkan diutamakan istri tak
bekerja mencari nafkah. Hal ini dimaksudkan agar istri dapat fokus membina
keluarga. Menjadi perkecualian jika tulang rusuk telah menjadi tulang punggung
keluarga, yang muncul seperti kasus TKW yang bekerja di luar negeri sedangkan
suaminya “angon” di rumah, atau wanita sebagai single parent yang dicerai atau
suaminya meninggal.
ü Pertama, menggauli suaminya secara layak sesuai dengan fitrahnya.
ü Kedua, memberikan rasa tenang dalam rumah tangganya.
ü Ketiga, taat dan patuh pada suami selama suami tidak menyuruhnya untuk
melakukan perbuatan maksiat.
ü Keempat, menjaga dirinya dan harta suamninya bila suaminya tidak ada di
rumah.
ü Kelima, menjauhkan sesuatu dari segala perbuatan yang tidak disukai
suaminya. Termasuk di dalamnya adalah mengundang teman lelaki dan perempuan nya
ke rumah selama suami tidak ada.
ü Keenam, menjauhkan dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan
suara yang tidak enak didengar.
ü Ketujuh, tidak keluar rumah tanpa seizin suami. Seiring teknologi yang
semakin canggih izin lebih mudah dilakukan dengan mengirim sms, telepon dan
media yang lain.\
M. Hak
bersama suami istri
Telah dihalalkan bergaul dan
bersenang-senang di antara keduanya. Hanya saja dilarang untuk mendatangi istri
di saat haid, nifas, ihram, dzihar (menyamakan punggung istrinya seperti
punggung ibunya sehingga tak ada keinginan untuk menggaulinya).
Seorang suami yang mendzihar
istrinya harus membayar kafarat (denda) dengan membebaskan 1 budak atau puasa
selama 2 bulan berturut-turut jika ingin kembali pada istrinya.
1.
Pertama, hak untuk saling mendapatkan warisan
2.
Kedua, Hak untuk mendapatkan perwalian nasab anak
3.
Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum:
21)
4.
Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya.
(An-Nisa’: 19 – Al-Hujuraat: 10)
5.
Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
6.
Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)
7.
Sedangkan kewajiban yang harus dilakukan bersama dalam rumah tangga bagi suami
istri adalah memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari pernikahan
dan memelihara kehidupan pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rohmah.
Pengaruh
kolonial masuk
ketika kekuasaan Barat ke Indonesia masuk dan telah membawa perubahan
atau bahkan kegoncangan dalam kehidupan rakyat Indonesia. Perubahan itu
meliputi bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
1. Pengaruh Kolonial di Bidang Politik
Semenjak awal abad ke-19 pengusaha Belanda mulai mengadakan pembaharuan politik kolonial. Pengaruh Belanda makin kuat karena intervensi yang intensif dalam persoalan-persoalan intern negara-negara tradisional seperti dalam soal penggantian takhta, pengangkatan pejabat birokrasi, ataupun campur tangan dalam menentukan kebijaksanaan politik negara. Akibat yang terjadi dari tindakan pemerintah itu timbul perubahan tata kehidupan di kalangan rakyat Indonesia. Tindakan pemerintah Belanda untuk menghapus kedudukan menurut adat penguasa pribumi dan menjadikan mereka pegawai pemerintah, meruntuhkan kewibawaan tradisional penguasa pribumi. Kedudukan mereka menjadi merosot.
Secara administratif para bupati atau penguasa pribumi lainnya adalah pegawai pemerintah Belanda yang ditempatkan di bawah pengawasan pemerintah kolonial. Hubungan rakyat dengan para bupati terbatas pada soal administratif dan pungutan pajak. Hak-hak yang diberikan oleh adat telah hilang. Pemilikan tanah lungguh atau tanah jabatan dihapus dan diganti dengan gaji. Upacara dan tatacara yang berlaku di istana kerajaan juga disederhanakan. Dengan demikian ikatan tradisi dalam kehidupan pribumi menjadi lemah.
2. Pengaruh Kolonial di Bidang Sosial Ekonomi
Dengan masuknya sistem ekonomi uang, maka beban rakyat bertambah berat. Ekonomi uang memudahkan bagi pelaksana pemungutan pajak, peningkatan perdagangan hasil bumi, lahirnya buruh upahan, masalah tanah dan penggarapannya. Sistem penyewaan tanah, dan praktik-praktik kerja paksa juga telah memperberat kehidupan penduduk pedesaan. Sementara itu kesejahteraan hidup semakin merosot sehingga mencapai tingkat kemiskinan yang tinggi. Praktik-praktik pemerasan dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan pemungutan pajak, tanam paksa, kerja paksa, penyewaan tanah dan penyelewengan-penyelewengan lainnya, telah menjadikan rakyat di pedesaan menjadi lemah. Mereka tidak memiliki tempat berlindung dan tempat untuk mengatakan keberatan-keberatan yang dirasakan. Tidak mengherankan, apabila kebijakan kolonial tersebut menimbulkan rasa antipati di kalangan rakyat, yang dapat menuju ke arah timbulnya perlawanan-perlawanan.
3. Pengaruh Kolonial di Bidang Kebudayaan
Dalam bidang kebudayaan, pengaruh kehidupan kolonial Barat di lingkungan tradisional makin meluas. Cara pergaulan, gaya hidup, cara berpakaian, bahasa, dan pendidikan barat mulai dikenal di kalangan atas. Sementara itu, beberapa tradisi di lingkungan penduduk mulai luntur dan hilang. Tradisi keagamaan rakyat pun mulai terancam. Selain itu, sekolah-sekolah mulai didirikan walaupun tujuan sebenarnya untuk kepentingan penjajah itu sendiri. Kuatnya pengaruh Barat, menimbulkan kekuatiran bahwa pengaruh kehidupan Barat dapat merusak nilai-nilai kehidupan tradisional. Tantangan yang kuat datang dari para pemimpin agama yang memandang kehidupan Barat bertentangan dengan norma-norma keagamaan. Dalam suasana kritis, pandangan keagamaan ini dijadikan dasar ajakan untuk melakukan perlawanan.
Perbedaan Pengaruh Kolonial
Pengaruh kolonial tidak lepas dari masa pendudukan, tingkat kepentingan, dan kebijakan yang diterapkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa Kepulauan Indonesia sangat dipengaruhi oleh pendudukan
para kolonialis. Pengaruh kolonialis Barat mencakup beberapa aspek yaitu aspek ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan. Namun tingkat pengaruhnya sangat bervariasi antara Pulau Jawa dengan pulaupulau yang lain dan antara satu daerah dengan daerah yang lain.
Perbedaan pengaruh ini disebabkan oleh beberapa hal berikut.
1. Kompetisi atau persaingan di antara bangsa Eropa sehingga Belanda perlu menguasai beberapa daerah untuk mencegah masuknya kekuatan lain.
2. Letak daerah jajahan yang strategis dalam jalur pelayaran dan perdagangan internasional.
3. Perbedaan persebaran sumber daya alam dan sumber daya manusia.
4. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial.
Pemerintah kolonial menjadikan Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan sehingga aktivitas kolonial yang paling banyak berada di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan Pulau Jawa tanahnya subur dan letaknya strategis. Selain itu juga memiliki penduduk yang lebih banyak dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Di samping itu di Pulau Jawa terdapat pusat-pusat perdagangan yang sudah terkenal sejak dulu. Di Pulau Jawa, Belanda memusatkan segala kegiatannya, baik perkebunan, pertanian, pertambangan, maupun pemerintahan. Belanda membuka perkebunan-perkebunan tanaman ekspor untuk dibawa ke negeri Belanda. Selain itu juga membangun jalan raya, jalan kereta api, jembatan, maupun pelabuhan-pelabuhan. Pembangunan tersebut dilakukan dengan tenaga rakyat melalui kerja rodi.
1. Pengaruh Kolonial di Bidang Politik
Semenjak awal abad ke-19 pengusaha Belanda mulai mengadakan pembaharuan politik kolonial. Pengaruh Belanda makin kuat karena intervensi yang intensif dalam persoalan-persoalan intern negara-negara tradisional seperti dalam soal penggantian takhta, pengangkatan pejabat birokrasi, ataupun campur tangan dalam menentukan kebijaksanaan politik negara. Akibat yang terjadi dari tindakan pemerintah itu timbul perubahan tata kehidupan di kalangan rakyat Indonesia. Tindakan pemerintah Belanda untuk menghapus kedudukan menurut adat penguasa pribumi dan menjadikan mereka pegawai pemerintah, meruntuhkan kewibawaan tradisional penguasa pribumi. Kedudukan mereka menjadi merosot.
Secara administratif para bupati atau penguasa pribumi lainnya adalah pegawai pemerintah Belanda yang ditempatkan di bawah pengawasan pemerintah kolonial. Hubungan rakyat dengan para bupati terbatas pada soal administratif dan pungutan pajak. Hak-hak yang diberikan oleh adat telah hilang. Pemilikan tanah lungguh atau tanah jabatan dihapus dan diganti dengan gaji. Upacara dan tatacara yang berlaku di istana kerajaan juga disederhanakan. Dengan demikian ikatan tradisi dalam kehidupan pribumi menjadi lemah.
2. Pengaruh Kolonial di Bidang Sosial Ekonomi
Dengan masuknya sistem ekonomi uang, maka beban rakyat bertambah berat. Ekonomi uang memudahkan bagi pelaksana pemungutan pajak, peningkatan perdagangan hasil bumi, lahirnya buruh upahan, masalah tanah dan penggarapannya. Sistem penyewaan tanah, dan praktik-praktik kerja paksa juga telah memperberat kehidupan penduduk pedesaan. Sementara itu kesejahteraan hidup semakin merosot sehingga mencapai tingkat kemiskinan yang tinggi. Praktik-praktik pemerasan dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan pemungutan pajak, tanam paksa, kerja paksa, penyewaan tanah dan penyelewengan-penyelewengan lainnya, telah menjadikan rakyat di pedesaan menjadi lemah. Mereka tidak memiliki tempat berlindung dan tempat untuk mengatakan keberatan-keberatan yang dirasakan. Tidak mengherankan, apabila kebijakan kolonial tersebut menimbulkan rasa antipati di kalangan rakyat, yang dapat menuju ke arah timbulnya perlawanan-perlawanan.
3. Pengaruh Kolonial di Bidang Kebudayaan
Dalam bidang kebudayaan, pengaruh kehidupan kolonial Barat di lingkungan tradisional makin meluas. Cara pergaulan, gaya hidup, cara berpakaian, bahasa, dan pendidikan barat mulai dikenal di kalangan atas. Sementara itu, beberapa tradisi di lingkungan penduduk mulai luntur dan hilang. Tradisi keagamaan rakyat pun mulai terancam. Selain itu, sekolah-sekolah mulai didirikan walaupun tujuan sebenarnya untuk kepentingan penjajah itu sendiri. Kuatnya pengaruh Barat, menimbulkan kekuatiran bahwa pengaruh kehidupan Barat dapat merusak nilai-nilai kehidupan tradisional. Tantangan yang kuat datang dari para pemimpin agama yang memandang kehidupan Barat bertentangan dengan norma-norma keagamaan. Dalam suasana kritis, pandangan keagamaan ini dijadikan dasar ajakan untuk melakukan perlawanan.
Perbedaan Pengaruh Kolonial
Pengaruh kolonial tidak lepas dari masa pendudukan, tingkat kepentingan, dan kebijakan yang diterapkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa Kepulauan Indonesia sangat dipengaruhi oleh pendudukan
para kolonialis. Pengaruh kolonialis Barat mencakup beberapa aspek yaitu aspek ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan. Namun tingkat pengaruhnya sangat bervariasi antara Pulau Jawa dengan pulaupulau yang lain dan antara satu daerah dengan daerah yang lain.
Perbedaan pengaruh ini disebabkan oleh beberapa hal berikut.
1. Kompetisi atau persaingan di antara bangsa Eropa sehingga Belanda perlu menguasai beberapa daerah untuk mencegah masuknya kekuatan lain.
2. Letak daerah jajahan yang strategis dalam jalur pelayaran dan perdagangan internasional.
3. Perbedaan persebaran sumber daya alam dan sumber daya manusia.
4. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial.
Pemerintah kolonial menjadikan Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan sehingga aktivitas kolonial yang paling banyak berada di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan Pulau Jawa tanahnya subur dan letaknya strategis. Selain itu juga memiliki penduduk yang lebih banyak dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Di samping itu di Pulau Jawa terdapat pusat-pusat perdagangan yang sudah terkenal sejak dulu. Di Pulau Jawa, Belanda memusatkan segala kegiatannya, baik perkebunan, pertanian, pertambangan, maupun pemerintahan. Belanda membuka perkebunan-perkebunan tanaman ekspor untuk dibawa ke negeri Belanda. Selain itu juga membangun jalan raya, jalan kereta api, jembatan, maupun pelabuhan-pelabuhan. Pembangunan tersebut dilakukan dengan tenaga rakyat melalui kerja rodi.
Komentar